Pages

Thursday, November 20, 2008

Keseimbangan Karier dan Rumah Tangga

Mungkin semua teman-teman pembaca blog saya udah tau,kalo saya adalah seorang ibu berprofesi ganda,yaitu sebagai ibu rumah tangga dan wanita carier.Karena saya lulusan Hukum,maka profesi spesifik di carier kantoran saya adalah HRD.Dengan berprofesi ganda biasa saja sudah cukup ribet membagi waktu,apalagi profesi carier sebagai head HRD di perusahaan swasta,membuat saya mau tak mau harus ekstra hati-hati dalam membagi waktu dan prioritas. Salah-salah saya menentukan prioritas,maka akan menimbulkan cemo’ohan di kalangan karyawan. “alaaaaaaaaaaahhh..HRD-nya aja kayak gitu”,saya gak mau ada istilah begitu yang dicap ke diri saya. Secara luas semua orang tau kalo tugas utama HRD adalah mengatur karyawan,kalo sayanya sendiri gagal ‘mengatur’ diri saya sendiri,gimana karyawan mau ikut aturan?.Saya adalah ROLE MODEL bagi karyawan,semua karyawan ketika mematuhi aturan. Saya gak bisa nyuruh orang disiplin kalo saya sendiri gak disiplin,saya gak bisa nyuruh orang untuk nentuin prioritas yang benar kalo saya sendiri gak bisa melakukannya juga.

Sungguh hal yang gak mudah buat saya selaku ibu dari seorang Balita,tapi konsekuensi itu sudah saya dan suami saya sadari bersama sejak awal sejak adanya tawaran kerja ini. Segala hal telah kami pertimbangkan masak-masak,dan pilihan kami jatuh pada kata sepakat bahwa saya diijinkan kerja oleh suami saya,dan beliau pun bersedia membagi tugas dengan saya dalam hal pengurusan anak dan rumah tangga jika saya lagi berhalangan. Suami saya juga telah menyiapkan diri untuk menyokong tugas saya di rumah jika saya harus mempriorotaskan tanggungjawab di kantor. Dia pun tau konsekuensi saya bekerja kantoran,saya akan banyak menghabiskan waktu di kantor sehingga gak selalu standby di rumah,saya juga harus lembur jika dibutuhkan,bahkan saya pun akan sesekali tidak pulang karena harus tugas luar kota. Suami saya paham betul konsekuensi pilihan kami tersebut,toh dia pun paham alasan saya bekerja.

Menurut hemat saya seharusnya tiap wanita bekerja telah memahami konsekuensi ini,dan para suami yang memberi izin kepada istrinya untuk bekerja seharusnya telah memiliki gambaran konsekuensi yang akan diterima,dan dikemudian hari jika harus menghadapi konsekuensi,si suami dapat mengerti dan memaklumi bahkan jika perlu dapat menjadi motivator yang baik.



Dua profesi yang tidak mudah



Nah hal ini sayangnya tidak terjadi dengan beberapa teman wanita di kantor saya,yang juga sama-sama berprofesi ganda seperti saya. Saya bercerita seperti ini karena saya sendiri sudah kehabisan energy untuk meladeni keluhan-keluhan,prilaku-prilaku,protes-protes dan tuntutan-tuntutan yang berkaitan dengan kesepatakatn ‘domestik’ yang tidak selesai ini.

Kejadian bermula dengan adanya rencana kantor saya untuk mengadakan acara employee gathering,kalo diperusahan lain acara employee gathering sudah menjadi hal biasa yang merupakan agenda wajib tahunan,bahkan selalu menjadi agenda yang menggembirakan dan ditunggu-tunggu,namun dikantor saya justru jadi sebaliknya (aneh kan???). Di perusahaan tempat saya bekerja,tahun-tahun sebelumnya selalu diadakan family gathering,tapi pencapaian pesan membangun kepada karyawan tidak pernah sampai melalui media family gathering,karena karyawan jika sudah membawa keluarga jadi lebih focus pada keluarganya daripada kegiatan yang diselenggarakan. Oleh karena itu perusahaan merombak pola gathering ini,untuk membuat employee gathering tiap dua tahun sekali diselingi dengan family gathering.Tujuannya adalah agar perusahaan memiliki kesempatan untuk memasukkan pesan membangun pada karyawannya.

Tapi sayang banget,niat baik Perusahaan ini malah menuai protes yang menurut saya berlebihan pada beberapa karyawan,dan yang sangat-sangat saya sayangkan,protes ini dilakukan oleh beberapa ibu-ibu.Alasan keberatan yang dilayangkan oleh para ibu2 itu adalah karena mereka harus meninggalkan keluarganya. Sebelum protes berlebihan ini dilayangkan,management dan HRD Perusahaan telah mengantisipasi dengan mengeluarkan kebijakan yang meringankan masalah domestic para ibu-ibu ini. Perusahaan membolehkan para ibu2 tersebut untuk membawa serta anak-anak mereka yang masih balita bersama pengasuhnya,dan biayanya akan ditanggung oleh Perusahaan. See???betapa perusahaan baik banget,Perusahaan niat intinya adalah untuk membangun karakter karyawan dan mencoba mengakomodasi kendala yang ada.

Tapi apa yang terjadi sodara-sodara???Para Ibu-Ibu itu masih aja protes,dengan tuntutan yang sama yaitu kenapa gak boleh bawa keluarga. Asumsinya karena tuntutannya seperti ini,sementara Perusahaan membolehkan mereka membawa anak dan pengasuh,artinya mereka menuntut suami ikut serta kan?GAK HABIS PIKIR…………..

Bahkan yang menurut saya dan beberapa teman lain agak berlebihan,adalah adanya issue yang mengatakan bahwa ibu-ibu yan gmelakukan protes itu sampe berantem berhari-hari dengan suaminya masing-masing gara-gara adanya agenda employee gathering ini,padahal acara ini cuma berlangsung dari hari Sabtu dan Minggu,Minggu siang udah kembali ke Jakarta.

Esensi dari masalah ini,saya melihat masih banyak wanita-wanita bekerja beserta pasangan masing-masing belum bisa bersikap proporsional. Kenapa saya bilang demikian?karena menurut saya,suami mana pun yang mengizinkan istrinya bekerja,harusnya sudah memiliki gambaran bahwa load kerja, training,gathering,meeting maupun dateline kerja adalah kewajiban dan konsekuensi dari pekerjaan kantoran,demikian juga dengan halnya gaji,tunjangan,asuransi,dan fasilitas lainnya yang diberikan adalah hak dari pekerja kantoran.

Adanya agenda kantor yang memiliki tujuan ‘membangun’ karyawan ini merupakan hal wajib yang harus diikuti oleh karyawan,karena bagian dari tugas,itu juga merupakan konsekuensi pekerjaan dan profesi yang diemban oleh istrinya. Jadi jika suami tidak menginginkan istrinya untuk menjalankan tugas kerjanya,kenapa tidak sekalian melarang istrinya bekerja?

Akan lebih baik tentunya bagi para suami itu untuk menugaskan istrinya jadi full time mom di rumah daripada membiarkan istrinya memberi kontribusi pendanaan di rumah dari hasil kerja kantoran,tetapi profesionalitasnya setengah-setengah. Daripada setengah-setengah saya kawatir nanti malah muncul kesan yang negative seperti perumpamaan berikut :”giliran hak ( contohnya gaji),semua orang gak mau terlambat tapi kalo kewajiban,seolah selalu cari alasan pengecualian”.

Status sebagai ibu seolah menjadi excuse bagi perempuan untuk menjadi tidak professional.

Saya sedih sekali melihat fenomena ini,saya selalu berambisi untuk menunjukkan pada dunia,bahwa seorang ibu pun mampu professional seperti kaum lelaki. Tapi di lain sisi kadang ada beberapa perempuan yang malah mendeklarasikan dirinya secara terang-terangan tentang kelemahan mereka.

Semua orang tentu punya kelemahan,semua orang punya kesulitan,tapi apakah kita harus mengkotakkan diri kita karena adanya kelemahan dan kesulitan itu, dan bukannya berupaya mencari jalan untuk mengakali kelemahan dan mengatasi kesulitan????

Miris ya melihat fenomena ini?,seolah perempuan –perempuan men-gender-kan kaum mereka sendiri.Apapun halangannya, buat saya kewajiban adalah tetap kewajiban,sepanjang itu semua bisa diselaraskan dan tidak berat sebelah,kenapa kita harus menjadikannya penghalang?

8 comments:

Desy Yusnita said...

kalo aku mengalami hal yg sama..
beberapa waktu lalu saya diminta untuk menjadi TL dr CS..

ketika saya membuat kebijakan, saya mendapat portes keras dr sesama staff yg tidak kooperatif.

makanya mba saya stress berat,sampai skr...

doakan aku y mba...

Keke Naima said...

butuh kompromi, pengertian, & keikhlasan dari ke dua belah pihak (suami-istri), insya Allah akan lancar :)

primaningrum said...

tidak semua mempunyai pandangan seperti itu, karena banyak juga para ibu-ibu ini bekerja karena kondisi "terpaksa". tidak banyak rasanya yang mempunyai reason bekerja sebagai "penyaluran isi kepala"

ary said...

setuju .. kadang emang gemes denger laranganya yang sepertinya gak adil begitu. Ningkatin kualitas dan kemampuan itu kan hak semua orang, tanpa melihat gender. mmm smoga aja hal2 yang kayak begini bisa berkurang ke depannya yah.

Siti Nurbaya ( Hanny Wang) said...

Orang punya pemikiran yang berbeda2, mbak. Gak bisa disamain.

momLnB said...

Buat Mbak Dayank...,thx dah mampir..Buat saya dlm hal ini semua org harusnya saling paham,krn hal ini bermuara pada konsep hak dan kewajiban,hal mutlak bagi setiap manusia.
Lebih baik perempuan di rumah saja dari pada mereka kerja kantor tapi mereka minta diistimewakan,minta diberi excuse untuk tidak menjalankan kewajiban. Kewajiban still kewajiban,tiap manusia yg menerima hak harus menyeimbangkan dengan kewajiban. Kalo kita maunya hak kita aja tapi gak mau melakukan kewajiban,menurut saya itu tidak fair. Sama saja bekerja hny untuk memperoleh uang,tapi tidak mau menjalankan kewajiban dari pekerjaan trsb. Ya itu normatif sih buat semua orang bhw ada hak ya berarti ada kewajiban,iya kan mbak...Semoga berkenan...

momLnB said...

Mbak Primaaaaaa...lama ya gak mampir??
Iya mbak,saya liat perempuan2 yg sy critakan itu kerja hny untuk cari uang untuk memenuhi kebutuhan saja.Krn saya melihat mereka kerap meminta excuse dlm memenuhi kewajiban. Ya kl kerja semacam itu dng konsep pemikiran hny untuk cari uang tapi tdk mau menjalankan kewajiban yg sesuai permintaan,itu sama saja dengan korupsi.Mudah2an kita terjauh dari hal demikian....amin..

Anonymous said...

hmm...

Bekerja dan mematuhi kebijakan kantor adalah kewajiban seorang wanita karier.

Namun memiliki waktu untuk anak dan suami adalah kewajiban seorang istri dan ibu.

Bagi setiap orang, prioritasnya ka berbeda. Pilih pekerjaan dan keluarga adalah hal dilematis.

Adakah alternatif kegiatan yang bisa mengakomodir kebutuhan perusahaan tapi tidak membingungkan karyawan perempuan selain gathering di akhir pekan?