Pages

Friday, July 1, 2016

Adversity Quotient Crisis



Yang sudah pada jadi parents kemungkinan pernah membaca tulisan Ibu Elly Risman pakar parenting anak tentang Adversity Quotient. Apakah itu? Berikut petikan saya dari tulisan beliau : 

Adversity quotient menurut Paul G. Stoltz dalam bukunya yg berjudul sama, adalah kecerdasan menghadapi kesulitan atau hambatan dan kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami.
Bukannya kecerdasan ini yg jd lebih penting daripada IQ, untuk menghadapi masalah sehari-hari?
Perasaan mampu melewati ujian juga luar biasa nikmatnya. Merasa bisa menyelesaikan masalah, mulai dari yang sederhana sampai yang sulit, membuat diri semakin percaya bahwa meminta tolong hanya dilakukan ketika kita benar2 tdk lagi bisa.Setelah di coba melewati kesusahan.Tidak masalah anak mengalami sedikit luka, sedikit nangis, sedikit kecewa, sedikit telat dan sedikit kehujanan. Akui kesulitan yang sedang dia hadapi,Tahan lidah, tangan dan hati dari memberikan bantuan, ajari menangani frustrasi. Kalau anda selalu jadi ibu peri atau guardian angel, apa yang terjadi jika anda tdk bernafas lagi esok hari?Bisa-bisa anak anda ikut mati.
Sulit memang untuk tidak mengintervensi, ketika melihat anak sendiri susah, sakit dan sedih
Apalagi dg menjadi orangtua, insting pertama adalah melindungi, jadi melatih AQ ini adalah ujian kita sendiri juga sebagai orangtua. Tapi sadarilah hidup penuh dengan ketidakenakan dan masalah akan selalu ada.
Dan mereka harus bisa bertahan. Melewati hujan, badai, dan kesulitan, yang kadang tidak selalu bisa kita hindarkan. Permata hanyalah arang… yang bisa melewati tekanan dengan sangat baik”

Tulisan beliau tentang hal ini sempat diringkas dalam sebuah format JPEG dan menyebar di berbagai media social. Saya bersyukur ada orang sebaik beliau sehingga berkenan membagi ilmunya untuk mengingatkan kita semua sebagai orang tua.
Anak- anak saya memang masih kecil- kecil, kakak 11tahun dan adik baru mau 5 tahun.Tapi bukan berarti saya tidak menjalani peran ibu bagi anak remaja maupun para anak muda, kenapa? Profesi saya sebagai HR dan coach yang mengharuskan saya bertemu dengan berbagai anak remaja dan anak muda beserta problematika mereka.
Bagi saya di tiap pekerjaan saya selaku ibu di rumah maupun “ibu” professional di kantor ini adalah media saya belajar.



Tulisan saya ini adalah sedikit cerita apa yang saya temui di dunia kerja saya.
Sebulan ini saya menemukan 6 kasus anak muda dengan problematikan yang berat, kisaran usianya adalah 20 – 24 tahun. Bukan anak- anak lagi, mereka sudah masuk kategori dewasa.
Dari 6 kasus ceritanya beda- beda, tapi dalam tulisan ini saya ingin membagi bahwa salah satu dari 6 anak muda  itu terdapat seorang pemuda berusia 22 tahun yang ingin saya bagi kisahnya disini.

Jika melihat dari apa yang ibu Elly tuliskan diatas, saya menyimpulkan pemuda ini mengalami Adversity Quotient Crisis, alias tidak tidak memiliki Adversity Quotient yang memadai selaku orang dewasa.
Mengapa saya menyimpulkan demikian?
Awal cerita, saya mendapat laporan dari seorang manager yang mengeluhkan bawahannya memiliki masalah dengan hasil kerjanya, hal ini diakibatkan karena rasa tanggungjawab bwahannya pada pekerjaannya tidak tampak, bawahan tersebut dinilai rapuh, sering tidak masuk kerja untuk alasan sakit- sakit ringan, bahkan kadang sulit diminta untuk mengerjakan lembur. Sebuah perusahaan konsultan seperti kami, lembur bukan sebuah hal baru yang aneh, meskipun kami tidak lembur setiap hari, tetapi di masa sibuk lembur adalah hal biasa, semacam sebuah resiko profesi. Pada  pegawai- pegawai muda lain adanya situasi lembur dijalankan dengan cukup smangat, karena mereka tau ini adalah tantangan untuk menaklukkan deadline. Saya pun ketika seusia mereka akan merasakan hal yang sama.
Namun pada pemuda ini, saya menemukan berbeda. Maka saya memutuskan untuk memanggilnya ke ruangan saya untuk menemukan masalah apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya.

Dalam sesi obrolan bersama saya, anak ini mensiratkan bahwa ia tidak nyaman dengan kewajiban untuk mengerjakan deadline sampai harus  lembur karena ibunya cukup ketat mengatur perihal kepulangan anak ke rumah, karena sejak kuliah ia harus melaporkan jadwal kegiatannya dan jam pulangnya.  Ia menceritakan setiap hari hp nya harus bisa diakses oleh ibunya untuk dilakukan pengecekan, sehingga darihal itulah ibunya menaruh ketidaksukaan pada sang manager karena merasa anaknya diberikan tugas berat. Saya bertanya kenapa masih dilakukan pengecekan? Padahal kamu adalah laki2 dewasa dengan umur 22 tahun? Alasan ibunya adalah ibunya kawatir akan pengaruh yang ditimbulkan oleh media social pada anaknya, OMG! Pemuda 22 thun bukannya sudah mampu memilih mana yang baik dan tidak? Pada banyak kasus pemuda 22 tahun malah sudah memberanikan diri melamar gadis.
Ibu anak ini sangat tidak mengizinkan anaknya untuk mengikuti aturan main dalam team untuk bekerja keras mencapai target, padahal dalam masa sibuk bukan anak ibu ini saja yang  morat marit mengejar dealine.

Anak ini pun ketika saya gali lebih lanjut menyampaikan bahwa sepanjang hidupnya ia tidak pernah membuat keputusan sendiri, semua hal diputuskan oleh keluarganya bahkan paman dan bibinya ikut ambil bagian untuk memutuskan. Masuk kuliah, jurusan yang dituju dipilihkan;  mau ujian tugas akhir,  dosen pembimbing dipilihkan yang dikenal keluarga;  mau magang pun diambil alih untuk dibantu pamannya yang memiliki koneksi ke perusahaan kami;  termasuk ketika si anak mengalami situasi harus lembur si ibu dan paman bibinya sibuk mencarikan tempat kerja baru agar si anak tidak menemui situasi kerja yang memiliki konsekuensi lembur pada kondisi deadline. Ia bercerita, dalam sebuah kondisi ketika ia sedang membawa pulang pekerjaanya untuk dikerjakan, pamannya ikut membantu ia mengerjakan, padahal yang saya tau pekerjaanya anak ini masih seputar entry level, pekerjaan administratif yang hanya membutuhkan ketekunan, namun keluarganya tidak mengizinkan anak ini mengasah ketekunan dan ketelitiannya dengan cara mengambil alih pekerjaan dengan dalih agar cepat selesai.

Saya mendengarkan anak ini bertutur dalam perasaan yang entah gak karuan, ia bukan anak saya, bukan pula keluarga saya, namun saya seperti prihatin memikirkan kekuatan anak ini menerjang badai hidup di kemudian hari jika ibu, ayah, paman dan bibinya tidak lagi mampu membantunya, akan jadi apa pemuda seperti ini?
Jangankan untuk memikul tanggungjawab membenahi bangsa, jangan- jangan pemuda2 seperti ini malah akan jadi PR bagi bangsa ini karena tidak memiliki Adversity Quotient yang memadai? Bagi saya saja selaku pemberi kerja saya enggan memberi pekerjaan dengan orang seperti ini, karena ia cenderung tidak mampu melangkah bersama perusahaan, ia tidak mampu mengikuti ritme kerja kebanyakan orang, ia tak mampu memiliki kekuatan yang dimiliki umumnya anak seusianya dalam mengemban tanggungjawab. Jika saya memaksakan, anak semacam ini hanya akan menjadi penghambat bagi team kerja. Kapasitas keilmuan anak ini pun sulti dikembangkan, karena setiap mau menginjak fase baru dalam penambahan kapasitas, ia selalu gagal dalam memantain semangat belajar, ia tak mampu berkorban untuk itu. Pada kasus anak ini, sayamengecek pada potensi IQ nya, saya prihatin bahwa Allah menitipkan kapasitas berfikir yang cukup dan memadai,namun dalam pandangan kami, ia tak lebih dari orang yang kurang memiliki potensi yang gemilang, kemampuan kerjanya minim, tangungjawabnya rendah, dan mental kerjanya tidak bisa diperhitungkan. Kasihan skali anak ini?

Ini masalah serius, saya sadar manusia tidak luput dari masalah, itulah yang menguatkan manusia dari hari ke hari. Kita makin dewasa, makin matang dan bijaksana karena kita mampu melewati masalah demi masalah dengan baik. Contoh sederhana adalah latihan beban fitness, untuk membentuk otot yang kuat kita ditempa dengan latihan- latihan berat sehingga kita bercucuran keringat dan mengalami lelah fisik, namun itu ternyata itu satu- satunya caraa yang baik untuk kita membentuk fisik yang perfect, memangkas lemak2 tak perlu, menimbulkan banyak manfaat untuk kesehatan jantung otot dan seluruh tubuh.

Jika untuk membuat tubuh sehat pun kita harus tertempa dengan kesulitan, lantas apakah untuk membentuk mental yang kuat kita lakukan dengan santai?
Ini pola pikir yang harus diubah. Anak- anak perlu menghadapi masalahnya sendiri, jika kita tak mampu membairkannya menyelesaiakn sendiri, cukup hadir sebagai coach yang mendampinginya saat masa sulitnya, meski dia tetap harus sendiri menghadapinya. Kelak toh ia akan sendiri, saat kita tak ada mereka akan tetap hidup diatas kaki, kemampuan, pemikian, dan kekuatan mereka sendiri.

Mulai hari ini, selain IQ, EQ, SQ, jangan lupa kita bangun AQ untuk anak- anak yang tangguh calon pemimpin umat dan pemimpin bangsa.

Thursday, June 2, 2016

Puasa Gadget




Saya kelelahan secara fisik dan emosional belakangan ini, saya tidak tau mau mulai dari mana untuk mem-blame-ing si penyebab utama. Kelelahan fisik dan emosional ini mulai saya rasakan karena saya sering kehilangan fokus bahkan jika boleh saya sebut bahwa saya mengalami kepikunan yang tidak lazim bagi diri saya.

Saya mengeluhkan ini kepada keluarga, suami saya yang tau pasti ada masalah apa yang sedang saya pikirkan menyatakan ini faktor saya banyak tersita pikiran pada masalah yang belum selesai ini, sementara keluarga saya yang lain yang melihat saya sebagai si multitasker sejati mem blame saya terlalu overload kerja dan beraktifitas, hal inimembuatsaya sangat kecewa karena saya menyukai aktifitas sibuk saya.

Saya gak cukup rela menyalahkan kesibukaan saya sebagai  pekerja kantoran, diprofesi coach, trainer, reseller  essential oil, social worker maupun sebagai ibu rumah tangga. Saya bersikukuh bahwa saya ingin menajdi orang bermanfaat dalam hidup saya,maka dengan segala kemampuan yang saya punya,saya ingin optimalkan. Saya yakin usia produktif ini gak berlangsung lama, karne akelak saya kan menua. Itu yang menajdi spirit saya untuk menyukai menjadi multitasker.

Saya cukup sadar bahwa saya menjadi banyak terbebani belakangan karena memang banyak berfikir tentang masalah yang sedang saya hadapi, dan saya kadang terlalu tampil seperti orang yang baik-baik saja di luar diri saya karena saya tidak punya pilihan lain,kadang banyak orang pun cenderung datang kepada saya untuk berbagi masalahnya dan saya terpanggil untuk teruss berusaha membantu. Ini tidak salah sebenarnya, tapi dengan kehadiran gadget saya yang cenderung ingin fokus kadang jadi terganggu dengan banyaknya keharusan membalas semua pesan dan komen teman2 di medsos. Ini enggak salah,lha wong saya suka bergaul kok? Saya seneng punya banyak teman,dan kadang saya pula yang membuat medsos saya semarak, for sure saya tadinya menikmatinya.

Tapi ketika saat ini saya dihadapkan pada pilihan bahwa secara profesi dan secara pribadi saya memiliki tuntutan yang cukup banyak saya harus mengurangi hal- hal yang bisa saya kurangi demi mencapai tingkat fokus yang memadai, toh tujuan utama saya adalah menajadi orang yang bermanfaat. Jika saya tidak berani untuk memulai memilah, saya akan terus larut menjadi orang yang kehilangan fokus,mungkin makin hari semakin banyak kehilangan fokus, dan ini mempengaruhi niat baik saya menjadi bermanfaat. Saya harus mengibarkan “bendera putih” saat ini, bahwa menjalani peran begitu banyak semacam ini, saya gak memiliki kecukupan fokus dng menyambi dengan aktif di mediasocial, ini harus saya akui. Gadget dan mediasocial semakin memperburuk sifaat multitasking saya.
Beberapa penelitian juga mengatakan bahwa mengerjakan sesuatu sekaligus dlm waktu yg sama akan membuat fokus menurun. Jadi untuk kembali mengerjakan pekerjaan jika sebelumnya menyambi,maka sulit untuk kembali fokus.

Saya meyakini itu, karena saya merasakannya. Misalkan, disaat saya bekerja di kantor,saat sedang fokus saya menerima pesan singkat dan saya membalasnya, lalu untuk sepersekian menit ketika saya kembali untuk mengerjakan pekerjaan saya,saya kehilangan fokus saya,issue yang mau saya dalami seperti menguap,dan pada akhirnya saya harus mulai dari nol.
Ini awalnya enggak berasa, tetapi ketika makin banyak hal yang harus ditangani, ternyata keberadaan gadget itu menguras fokus saya.

And here i am, hampir seminggu puasa gadget, dan saya merasa baik- baik saja. Merasa cukup nyaman dan enjoy. Saya hanya menghabiskan waktu senggang saya dijalan dengan membaca buku dan mengerjakan rentetan soal matematika yang sengaja saya beli (kalo ini saya emang sok pengen pinter). Saya mencoba menjalani ini 2 minggu,mungkin nanti akan dibuat skema yang cukup fleksible sehingga orang2 yang berkaitan scr profesional dng saya tidak merasa impact dr puasa gadget saya ini. Sejauh ini sudah dapat complain kecil,yang memang saya akhirnya jawab : “please hub saya dikantor ya, atau ke team kerja saya,saya ada kok. Ehhehehe...”

Nanti akan saya review lagi setelah saya merasakan impact yang lebih besar lagi ya.