Pages

Friday, July 1, 2016

Adversity Quotient Crisis



Yang sudah pada jadi parents kemungkinan pernah membaca tulisan Ibu Elly Risman pakar parenting anak tentang Adversity Quotient. Apakah itu? Berikut petikan saya dari tulisan beliau : 

Adversity quotient menurut Paul G. Stoltz dalam bukunya yg berjudul sama, adalah kecerdasan menghadapi kesulitan atau hambatan dan kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami.
Bukannya kecerdasan ini yg jd lebih penting daripada IQ, untuk menghadapi masalah sehari-hari?
Perasaan mampu melewati ujian juga luar biasa nikmatnya. Merasa bisa menyelesaikan masalah, mulai dari yang sederhana sampai yang sulit, membuat diri semakin percaya bahwa meminta tolong hanya dilakukan ketika kita benar2 tdk lagi bisa.Setelah di coba melewati kesusahan.Tidak masalah anak mengalami sedikit luka, sedikit nangis, sedikit kecewa, sedikit telat dan sedikit kehujanan. Akui kesulitan yang sedang dia hadapi,Tahan lidah, tangan dan hati dari memberikan bantuan, ajari menangani frustrasi. Kalau anda selalu jadi ibu peri atau guardian angel, apa yang terjadi jika anda tdk bernafas lagi esok hari?Bisa-bisa anak anda ikut mati.
Sulit memang untuk tidak mengintervensi, ketika melihat anak sendiri susah, sakit dan sedih
Apalagi dg menjadi orangtua, insting pertama adalah melindungi, jadi melatih AQ ini adalah ujian kita sendiri juga sebagai orangtua. Tapi sadarilah hidup penuh dengan ketidakenakan dan masalah akan selalu ada.
Dan mereka harus bisa bertahan. Melewati hujan, badai, dan kesulitan, yang kadang tidak selalu bisa kita hindarkan. Permata hanyalah arang… yang bisa melewati tekanan dengan sangat baik”

Tulisan beliau tentang hal ini sempat diringkas dalam sebuah format JPEG dan menyebar di berbagai media social. Saya bersyukur ada orang sebaik beliau sehingga berkenan membagi ilmunya untuk mengingatkan kita semua sebagai orang tua.
Anak- anak saya memang masih kecil- kecil, kakak 11tahun dan adik baru mau 5 tahun.Tapi bukan berarti saya tidak menjalani peran ibu bagi anak remaja maupun para anak muda, kenapa? Profesi saya sebagai HR dan coach yang mengharuskan saya bertemu dengan berbagai anak remaja dan anak muda beserta problematika mereka.
Bagi saya di tiap pekerjaan saya selaku ibu di rumah maupun “ibu” professional di kantor ini adalah media saya belajar.



Tulisan saya ini adalah sedikit cerita apa yang saya temui di dunia kerja saya.
Sebulan ini saya menemukan 6 kasus anak muda dengan problematikan yang berat, kisaran usianya adalah 20 – 24 tahun. Bukan anak- anak lagi, mereka sudah masuk kategori dewasa.
Dari 6 kasus ceritanya beda- beda, tapi dalam tulisan ini saya ingin membagi bahwa salah satu dari 6 anak muda  itu terdapat seorang pemuda berusia 22 tahun yang ingin saya bagi kisahnya disini.

Jika melihat dari apa yang ibu Elly tuliskan diatas, saya menyimpulkan pemuda ini mengalami Adversity Quotient Crisis, alias tidak tidak memiliki Adversity Quotient yang memadai selaku orang dewasa.
Mengapa saya menyimpulkan demikian?
Awal cerita, saya mendapat laporan dari seorang manager yang mengeluhkan bawahannya memiliki masalah dengan hasil kerjanya, hal ini diakibatkan karena rasa tanggungjawab bwahannya pada pekerjaannya tidak tampak, bawahan tersebut dinilai rapuh, sering tidak masuk kerja untuk alasan sakit- sakit ringan, bahkan kadang sulit diminta untuk mengerjakan lembur. Sebuah perusahaan konsultan seperti kami, lembur bukan sebuah hal baru yang aneh, meskipun kami tidak lembur setiap hari, tetapi di masa sibuk lembur adalah hal biasa, semacam sebuah resiko profesi. Pada  pegawai- pegawai muda lain adanya situasi lembur dijalankan dengan cukup smangat, karena mereka tau ini adalah tantangan untuk menaklukkan deadline. Saya pun ketika seusia mereka akan merasakan hal yang sama.
Namun pada pemuda ini, saya menemukan berbeda. Maka saya memutuskan untuk memanggilnya ke ruangan saya untuk menemukan masalah apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya.

Dalam sesi obrolan bersama saya, anak ini mensiratkan bahwa ia tidak nyaman dengan kewajiban untuk mengerjakan deadline sampai harus  lembur karena ibunya cukup ketat mengatur perihal kepulangan anak ke rumah, karena sejak kuliah ia harus melaporkan jadwal kegiatannya dan jam pulangnya.  Ia menceritakan setiap hari hp nya harus bisa diakses oleh ibunya untuk dilakukan pengecekan, sehingga darihal itulah ibunya menaruh ketidaksukaan pada sang manager karena merasa anaknya diberikan tugas berat. Saya bertanya kenapa masih dilakukan pengecekan? Padahal kamu adalah laki2 dewasa dengan umur 22 tahun? Alasan ibunya adalah ibunya kawatir akan pengaruh yang ditimbulkan oleh media social pada anaknya, OMG! Pemuda 22 thun bukannya sudah mampu memilih mana yang baik dan tidak? Pada banyak kasus pemuda 22 tahun malah sudah memberanikan diri melamar gadis.
Ibu anak ini sangat tidak mengizinkan anaknya untuk mengikuti aturan main dalam team untuk bekerja keras mencapai target, padahal dalam masa sibuk bukan anak ibu ini saja yang  morat marit mengejar dealine.

Anak ini pun ketika saya gali lebih lanjut menyampaikan bahwa sepanjang hidupnya ia tidak pernah membuat keputusan sendiri, semua hal diputuskan oleh keluarganya bahkan paman dan bibinya ikut ambil bagian untuk memutuskan. Masuk kuliah, jurusan yang dituju dipilihkan;  mau ujian tugas akhir,  dosen pembimbing dipilihkan yang dikenal keluarga;  mau magang pun diambil alih untuk dibantu pamannya yang memiliki koneksi ke perusahaan kami;  termasuk ketika si anak mengalami situasi harus lembur si ibu dan paman bibinya sibuk mencarikan tempat kerja baru agar si anak tidak menemui situasi kerja yang memiliki konsekuensi lembur pada kondisi deadline. Ia bercerita, dalam sebuah kondisi ketika ia sedang membawa pulang pekerjaanya untuk dikerjakan, pamannya ikut membantu ia mengerjakan, padahal yang saya tau pekerjaanya anak ini masih seputar entry level, pekerjaan administratif yang hanya membutuhkan ketekunan, namun keluarganya tidak mengizinkan anak ini mengasah ketekunan dan ketelitiannya dengan cara mengambil alih pekerjaan dengan dalih agar cepat selesai.

Saya mendengarkan anak ini bertutur dalam perasaan yang entah gak karuan, ia bukan anak saya, bukan pula keluarga saya, namun saya seperti prihatin memikirkan kekuatan anak ini menerjang badai hidup di kemudian hari jika ibu, ayah, paman dan bibinya tidak lagi mampu membantunya, akan jadi apa pemuda seperti ini?
Jangankan untuk memikul tanggungjawab membenahi bangsa, jangan- jangan pemuda2 seperti ini malah akan jadi PR bagi bangsa ini karena tidak memiliki Adversity Quotient yang memadai? Bagi saya saja selaku pemberi kerja saya enggan memberi pekerjaan dengan orang seperti ini, karena ia cenderung tidak mampu melangkah bersama perusahaan, ia tidak mampu mengikuti ritme kerja kebanyakan orang, ia tak mampu memiliki kekuatan yang dimiliki umumnya anak seusianya dalam mengemban tanggungjawab. Jika saya memaksakan, anak semacam ini hanya akan menjadi penghambat bagi team kerja. Kapasitas keilmuan anak ini pun sulti dikembangkan, karena setiap mau menginjak fase baru dalam penambahan kapasitas, ia selalu gagal dalam memantain semangat belajar, ia tak mampu berkorban untuk itu. Pada kasus anak ini, sayamengecek pada potensi IQ nya, saya prihatin bahwa Allah menitipkan kapasitas berfikir yang cukup dan memadai,namun dalam pandangan kami, ia tak lebih dari orang yang kurang memiliki potensi yang gemilang, kemampuan kerjanya minim, tangungjawabnya rendah, dan mental kerjanya tidak bisa diperhitungkan. Kasihan skali anak ini?

Ini masalah serius, saya sadar manusia tidak luput dari masalah, itulah yang menguatkan manusia dari hari ke hari. Kita makin dewasa, makin matang dan bijaksana karena kita mampu melewati masalah demi masalah dengan baik. Contoh sederhana adalah latihan beban fitness, untuk membentuk otot yang kuat kita ditempa dengan latihan- latihan berat sehingga kita bercucuran keringat dan mengalami lelah fisik, namun itu ternyata itu satu- satunya caraa yang baik untuk kita membentuk fisik yang perfect, memangkas lemak2 tak perlu, menimbulkan banyak manfaat untuk kesehatan jantung otot dan seluruh tubuh.

Jika untuk membuat tubuh sehat pun kita harus tertempa dengan kesulitan, lantas apakah untuk membentuk mental yang kuat kita lakukan dengan santai?
Ini pola pikir yang harus diubah. Anak- anak perlu menghadapi masalahnya sendiri, jika kita tak mampu membairkannya menyelesaiakn sendiri, cukup hadir sebagai coach yang mendampinginya saat masa sulitnya, meski dia tetap harus sendiri menghadapinya. Kelak toh ia akan sendiri, saat kita tak ada mereka akan tetap hidup diatas kaki, kemampuan, pemikian, dan kekuatan mereka sendiri.

Mulai hari ini, selain IQ, EQ, SQ, jangan lupa kita bangun AQ untuk anak- anak yang tangguh calon pemimpin umat dan pemimpin bangsa.

Thursday, June 2, 2016

Puasa Gadget




Saya kelelahan secara fisik dan emosional belakangan ini, saya tidak tau mau mulai dari mana untuk mem-blame-ing si penyebab utama. Kelelahan fisik dan emosional ini mulai saya rasakan karena saya sering kehilangan fokus bahkan jika boleh saya sebut bahwa saya mengalami kepikunan yang tidak lazim bagi diri saya.

Saya mengeluhkan ini kepada keluarga, suami saya yang tau pasti ada masalah apa yang sedang saya pikirkan menyatakan ini faktor saya banyak tersita pikiran pada masalah yang belum selesai ini, sementara keluarga saya yang lain yang melihat saya sebagai si multitasker sejati mem blame saya terlalu overload kerja dan beraktifitas, hal inimembuatsaya sangat kecewa karena saya menyukai aktifitas sibuk saya.

Saya gak cukup rela menyalahkan kesibukaan saya sebagai  pekerja kantoran, diprofesi coach, trainer, reseller  essential oil, social worker maupun sebagai ibu rumah tangga. Saya bersikukuh bahwa saya ingin menajdi orang bermanfaat dalam hidup saya,maka dengan segala kemampuan yang saya punya,saya ingin optimalkan. Saya yakin usia produktif ini gak berlangsung lama, karne akelak saya kan menua. Itu yang menajdi spirit saya untuk menyukai menjadi multitasker.

Saya cukup sadar bahwa saya menjadi banyak terbebani belakangan karena memang banyak berfikir tentang masalah yang sedang saya hadapi, dan saya kadang terlalu tampil seperti orang yang baik-baik saja di luar diri saya karena saya tidak punya pilihan lain,kadang banyak orang pun cenderung datang kepada saya untuk berbagi masalahnya dan saya terpanggil untuk teruss berusaha membantu. Ini tidak salah sebenarnya, tapi dengan kehadiran gadget saya yang cenderung ingin fokus kadang jadi terganggu dengan banyaknya keharusan membalas semua pesan dan komen teman2 di medsos. Ini enggak salah,lha wong saya suka bergaul kok? Saya seneng punya banyak teman,dan kadang saya pula yang membuat medsos saya semarak, for sure saya tadinya menikmatinya.

Tapi ketika saat ini saya dihadapkan pada pilihan bahwa secara profesi dan secara pribadi saya memiliki tuntutan yang cukup banyak saya harus mengurangi hal- hal yang bisa saya kurangi demi mencapai tingkat fokus yang memadai, toh tujuan utama saya adalah menajadi orang yang bermanfaat. Jika saya tidak berani untuk memulai memilah, saya akan terus larut menjadi orang yang kehilangan fokus,mungkin makin hari semakin banyak kehilangan fokus, dan ini mempengaruhi niat baik saya menjadi bermanfaat. Saya harus mengibarkan “bendera putih” saat ini, bahwa menjalani peran begitu banyak semacam ini, saya gak memiliki kecukupan fokus dng menyambi dengan aktif di mediasocial, ini harus saya akui. Gadget dan mediasocial semakin memperburuk sifaat multitasking saya.
Beberapa penelitian juga mengatakan bahwa mengerjakan sesuatu sekaligus dlm waktu yg sama akan membuat fokus menurun. Jadi untuk kembali mengerjakan pekerjaan jika sebelumnya menyambi,maka sulit untuk kembali fokus.

Saya meyakini itu, karena saya merasakannya. Misalkan, disaat saya bekerja di kantor,saat sedang fokus saya menerima pesan singkat dan saya membalasnya, lalu untuk sepersekian menit ketika saya kembali untuk mengerjakan pekerjaan saya,saya kehilangan fokus saya,issue yang mau saya dalami seperti menguap,dan pada akhirnya saya harus mulai dari nol.
Ini awalnya enggak berasa, tetapi ketika makin banyak hal yang harus ditangani, ternyata keberadaan gadget itu menguras fokus saya.

And here i am, hampir seminggu puasa gadget, dan saya merasa baik- baik saja. Merasa cukup nyaman dan enjoy. Saya hanya menghabiskan waktu senggang saya dijalan dengan membaca buku dan mengerjakan rentetan soal matematika yang sengaja saya beli (kalo ini saya emang sok pengen pinter). Saya mencoba menjalani ini 2 minggu,mungkin nanti akan dibuat skema yang cukup fleksible sehingga orang2 yang berkaitan scr profesional dng saya tidak merasa impact dr puasa gadget saya ini. Sejauh ini sudah dapat complain kecil,yang memang saya akhirnya jawab : “please hub saya dikantor ya, atau ke team kerja saya,saya ada kok. Ehhehehe...”

Nanti akan saya review lagi setelah saya merasakan impact yang lebih besar lagi ya.

Tuesday, April 28, 2015

Ulang Tahun di tanah suci

Ini sedikit cerita dari ulang tahun saya 24 Maret lalu. Mungkin buat saya ulang tahun tahun ini adlah ulang tahun terbaik sepanjang hidup saya, kenapa?
jawabanya karena saya melewatinya di dua tanah suci bagi orang Muslim, yaitu Madina dan Mekkah.
Pagi pada tanggal 24 itu saya membuka mata berada di Madinah, dan sempat menikmati ibadah dihari pertambahan usia saya di masjid Nabawi, dan ketika petang saya sudah berada di Mekkah dan hari itu saya menutup hari dengan menunaikan ibadah umroh di Masjidil Harom ,Mekkah.
Ini sebenernya tidak saya rencanakan sebelumnya, saya bahkan tidak tau akan merayakan hari jadi saya di dua kota tersebut.
Saya memang dihadiahkan oleh suami saya paket perjalanan umroh bersamanya, tepat di bulan Maret. Namun atas seizin Allah tanggal keberangkatan bertepatan dengan hari menjelang ulang tahun, dan hari ulang tahun tepat dengan hari ibadah umroh saya.



Bagaimana rasanya ya, sungguh gak bisa dijelaskan, saya benar2 merasa senang dan merasa berkelimpahan kasih sayang dari Allah. Saya merasa syukur atas apa yang Allah berikan kepada saya dan keluarga.

Berbicara tentang ibadah umroh maupun haji, say ameyakini itu adalah perjalanan yang bersifat spiritual. Saya mengalami banyak hal- hal yang mengejutkan dan membuat saya percaya bahwa Allah maha tau isi hati manusia.
Seperti contoh, sejak dari tanah air saya mengatakan kepada suami, "aku mau ibadah, jangan sampe deh tergoda belanja- belanja, sayang waktuku". berkali- kali saya mengulang itu pada suami saya, dan apa yang terjadi? Kita tak mungkin menampik, bahwa banyak penajaja barang dan pernak pernik berjualan dipinggiran masjid, namun setiap saya tertarik untuk melihat, maka saat itu juga saya terserang sakit pinggang luar biasa. Bahkan pernah pada saat saya berada di Mekkah, seorang tante saya di tanah air titip pesan minta dibelikan parfum di Hilton tower lantai 3, hilton tower terletak disebelah tower hotel say amenginap, logikanya tidak jauh kan? maka saya menunaikan titipan pesan itu, saya dan suami menuju tempat yang dimaksud dan sungguh tidak jauh, namun apa yang terjadi? pinggang saya sakit parah, saat itu saya benar2 dibilang hampir tidak sanggup untuk jalan, boro2 mau melirik barang2 lain atau mau mencari sajadah bagus secara khusus. .Saya hanya sempat belanja oleh2 sedikit untuk orang terdekat, itupun tempat belanja yg hanya dekat dng eskalator hotel, selebihnya saya tidak tertarik apa2. Allah menjawab perkataan saya, saya tidak mau belanja, hal yang tumben sekali datang pada diri saya :)

Kemudian soal makan, saya adalah orang yang cukup picky eater, saya enggak suka makanan timur tengah, saya tidak suka aroma herbs nya. Tapi dari tanah air saya selalu bilang sama diri saya sendiri, makanan disana enak semua, saya enggak mau jajan, saya mau makan apa yang hotel / pihak pnitia sediakan. Dan apa ang terjadi? saya disana tidak ada cerita lesu makan, saya nikamti semua makanan, apakah terpaksa? enggak sama sekali, di lidah saya semua makanan enak. Bahkan ketika sampai di Mekkah, hotel menyajikan setiap sajian adalah international food dan nasi yang tersedia pasti dimasak ala timur tengah, ditamabah lagi tak tersedia sama sekali sambel atau cabai. Lalu apakah saya mogok makan? sama sekali enggak, say atetap lahap makan. Saya pun selalau menanti waktu makan dengan suka cita. Saya sama sekali tidak jajan, ice cream pun dmata saya enggak menarik. Suami saya sampai heran dengan saya yang rajin mengeluh soal makan jadi begitu sangat makan tanpa rewel. Dan alhamdulilah say apun meminta dalam hati say amau sehat, balik ke tanah air dengan sehat. Dan karena pola makan saya yang teratur dan tidak jajan, saya sama sekali tidak terkena batuk, kulit kelupas atau merah pun tidak, semua tampak baik2 saja dan segar- segar saja, betapa Allah mengabulkan semua perkataan maupun bisikan dibatin saya, Subhanallah walhamdulillah :)

Jadi tips dari saya, berdoa lah yang baik- baik, maka Allah akan mengabulkan. Soal nafsu belanja yang hilang pun saya syukuri, karena saya sadar saya perempuan yang cenderung konsumtif karena sering membeli barang tanpa mikir perlu atau tidak, dan Allah melindungi saya dng isi dompet yg terbilang hampir utuh say abawa kembali ke tanah air, alhamdulilah lagi :)
Sungguh perjalanan yang indah dan penuh kenangan indah, jujur saja nagih untuk kembali kesana perasaan hati ini.

Saya berharap dapat diberikan rezeki berlimpah untuk kembali kesana bersama anak2, suami, orang tua dan saudara2 saya. Setiap saya berdoa itulah yang saya ikut panjatkan selain doa- doa saya yang lain.
Beribadah bersama keluarga akan menjadi penglaaman tak terlupakan seumur hidup, dan saya berharap Allah akan mengabulkannya, amin.
Saya pun berharap saya diberi rejeki untuk memberi kesempatan bagi orang lain untuk menikmati kesempatan yang sama, amin :)


Monday, January 12, 2015

Hidup Sederhana yang makin langka


Sekelumit uneg- uneg saya yang sedang menikmati hujan di meja kerja saya di daerah Selatan Jakarta. Saya pengguna media social yang lumayan aktif, saya memiliki akun Facebook, Twitter, Instagram, dan Path. Memang tidak semuanya aktif, belakangan yang paling aktif adalah path. Karena path lebih dirasa mengasyikkan karena relative lebih privat, kita boleh memilih siapa2 teman yang boleh berteman dengan kita.

Kegiatan saya di path biasanya enggak jauh2 dari memposting tentang masakan saya, makanan kesukaan, mengabadikan kegiatan dng teman, saudara maupun kerabat, tingkah laku konyol2 saya dan teman2 dan sisanya lebih banyak tentang tingkah anak2 saya. Saya rasa itu yang masih sesuai dengan etika kepantasan untuk di share dengan khalayak. Meskipun path cukup limited tetapi saya masih merasa yang ada didalam jejaring path saya kesemuanya bukanlah masuk kategori orang- orang yang merupakan sahabat terdekat saya, saya harus katakan mereka adalah orang lain buat saya.
Untuk itu saya rasa masih perlu untuk memilah mana informasi yang patut dibagikan kepada mereka dan mana yang tidak patut. Sejauh ini saya menutup sekali informasi mengenai hal2 berkaitan dng masalah pribadi terlebih lagi mengenai materi. Buat saya kepemilikan materi adalah privacy, selain itu ada nilai kepantasan yang saya yakini bahwa urusan mengumbar kepemilikan atas materi itu bagian dari sifat pamer. Dan sifat pamer bukan sifat yang dapat dikatakan benar, mengapa? Karena ditinjau dari pemahaman agama sudah jelas salah, ditinjau dari aspek psikologis pun itu salah satu prilaku yang memprihatinkan karena menjurus pada gejala Hedonisme. Banyak akibat buruk yang ditimbulkan oleh hedonisme. Pertama, lenyapnya kekayaan, meningkatnya jurang antar miskin dan kaya berkembangnya kemiskinan, kebangkrutan dan hutang di tengah masyarakat kecil. Ibnu Khaldun sejarawan dan sosiolog muslim dalam hal ini berkata: Sejauh mana sebuah masyarakat tenggelam dalam hedonisme, sejauh itulah mereka akan mendekati batas kehancuran. Proses kehancuran akan terjadi karena hedonisme secara perlahan akan menyebabkan kemiskinan masyarakat dan negara. Sejauh mana hedonisme mewabah, sejauh itu pulalah kemiskinan akan menyebar di tengah masyarakat.

Tidak ada yang salah dengan memakai barang yang dirasa nyaman bagi kita apalagi sesuai dengan isi kantong. Tapi yang salah adalah jika situasinya secara sengaja menampilkan materi yang dimiliki apalagi jika tujuannya untuk membanggakan diri apalagi show up materi demi diberi label dirinya mapan dan sesuai dengan standar kekayaan yang menurutnya dianut orang lain.
Coba jika diperhatikan dengan seksama, mungkin teman2 dapat memperhatikan banyaknya teman dalam jejaring socialnya kita masing2 yang aktif memposting foto – foto yang menunjukkan hal ini, seperti, memposting gambar perhiasan emas yang baru dibelinya, gambar tas maupun sepatu koleksinya dengan harus memotret label nya, memajang foto mobil yang digunakannya lengkap dengan plat mobilnya (mungkin supaya semua orang tau itu mobil masih baru), memotret struk belanjaan milikinya, memajang foto2 situasi ruangan lengkap dengan perabot dalam rumahnya, memajang progress pembangunan rumah barunya dan postingan lain sebagainya yang menunjukkan sikap pamer. Bahkan saya pernah menemukan teman yang berpose di toilet (WC) rumah barunya untuk menunjukkan pada dunia tentang kemewahan rumahnya. Sejujurnya yang dilihat ini menimbulkan reaksi berbeda dari banyak orang, mungkin ada yang gerah karena iri, mungkin juga ada yang kecil hati karena tidak memiliki barang yang sama, mungkin juga menjadi jijik karena tidak sepaham dengan kesombongan orang2 ini atau mungkin justru seperti saya dan teman2 yang melihat itu semua malah menjadikannya guyonan karena tindakan itu saya nilai sangat konyol dan tidak menunjukkan sikap yang elegant. 

Dewasa ini jarang  orang memposting kegiatan belanja di pasar, kegiatan sederhana di alam, kegiatan alamiah manusia yang tidak melibatkan proses pamer harta ini, makan makanan kampung, melakukan aktifitas yang sederhana, naik kendaraan umum, maupun kegiatan biasa- biasa saja lainnya. Hanya segelintir orang yang tampil  nyaman dengan dirinya sendiri tanpa membawa embel2 harta seperti ini, jarang sekali orang tampil alamiah layaknya manusia normal. Gaya seperti itu belakangan ini dinilai hal normal, malah cenderung diposting norak dan ketinggalan jaman.
Tapi dibalik itu, tanpa sadar seseorang yang melakukan kegiatan pamer di media social sudah menjatuhkan martabatnya seolah tidak memahami intelektualitas dan etika. Tapi apa daya, saat ini orang tidak banyak berfikir tentang hal itu, orang seperti berlomba2 ingin terlihat kaya, entah ingin pujian atau apa. Yang pasti gejala hedonism ini mulai merambat kemana- mana. Mulai dari orang kaya baru, pegawai swasta, PNS sampai ibu rumah tangga. Semua berlomba untuk menunjukkan gaya hidup jet set. Ini mengerikan, jika dalam sebuah keluarga, ayah maupun ibunya terjangkit virus hedonism akut seperti ini, lantas bagaimana anak2 yang dihasilkan dari keluarga tersebut? 

Tapi mungkin inilah tantangan kita, gaya hidup hedonism ini memiliki daya tarik yang kuat, apalagi dengan kuatnya pengaruh media social yang membuat orang mudah tergiur untuk eksis dan show off. Ini adalah ujian berat bagi kita untuk mengambil langkah- langkah aman untuk menjauhkan diri kita dari godaan gaya hidup hedonism. Para pihak harus kembali menyadari pentingnya kembali menjalani hidup yang normal, maka mulailah untuk terbiasa menampilkan kesederhanaan dan membiasakan bersikap bersahaja. Karena kita adalah role model generasi kedepan.

Tidak ada yang salah dengan menampilkan citra diri yang mapan, sepanjang tetap memperhatikan sikap sederhana dan tidak pamer. Mulailah berimbang untuk menunjukkan sisi diri kita yang sebenarnya, berhentilah terobsesi membangun image ‘saya orang kaya’. Anda harus sadar anda tidak perlu bersaing dengan siapapun untuk itu, anda cukup membuktikan diri untuk diri anda sendiri bahwa anda adalah orang yang mampu bertahan hidup dengan normal dan memegang teguh prinsip hidup anda, tentu prinsip hidup yang positif. Anda tidak perlu sibuk menunjukkan diri anda sukses, orang yang sebenarnya sukses malah jauh lebih fokus pada hal- hal bermanfaat bukan hal2  yang sama sekali tidak memiliki manfaat seperti pamer.
Anda tidak perlu menjadi orang lain dan menarik perhatian orang lain, yang perlu anda titik beratkan adalah bagaimana anda bisa survive di masa depan anda, bagaimana anda menciptakan generasi berikutnya yang berkualitas bukan yang hedonism.

Monday, July 14, 2014

Mari kita menciptakan Pemilu Damai



Mungkin ada dari pembaca blog sama merasakan hal yang sama dengan saya, muak dengan PILPRES!
Ini yang saya rasakan, awalnya saya semangat menyonsong PILPRES, saya pun sibuk mencari bahan untuk membuka cakrawala pemikiran saya, karena PILPRES kali ini terasa begitu ketat, sungguh dari hati yang paling dalam saya sulit memilih, bukan saja karena dua-duanya bagus,tapi dua- duanya punya ‘catatan’ bagi saya.

Saya diawal merasa pantas jika disebut swing voters, karena benar2 gamang mau milih Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK. Saya benar2 cukup mengandalkan riset pribadi dan mengamati Debat Capres. Pada debat Capres kedua,saya akhirnya bulat membuat keputusan, saya punya kepastian mau milih siapa di PILPRES ini. Saya enggak perlu sebut pilihan saya di sini ya, karena cukuplah FB, PATH, Twitter sekitar saya saling serang gara- gara beda pilihan ini.

Saya nulis ini karena saya sungguh muak, muak semuak muaknya dengan para pendukung Capres yang seperti orang gila membabi buta.
Satu sisi saya senang melihat orang- orang sekarang punya concern dalam memilih presidennya, mau punya peduli pada politik negaranya. Tapi ternyata masih juga ada yang tidak siap dalam mengemban demokrasi. Orang2 awam yang dadakan paham politik ini tau- tau mulai aktif dan massif. Mereka dengan pengetahuan yang mungkin baru segitu tidak diimbangi kebesaran jiwa dan memaknai demokrasi dengan benar.
Sehingga dengan info sedikit yang juga belum tentu benar, akhirnya siap menyerang siapa saja yang berbeda dengannya. Dan enggak pandang bulu, mau saudara kandung, mau orang tua, mau sahabat, mau kenal mau enggak, pokoknya kalo beda ya wajib serang.
Apa sebutan yang pantas disematkan dengan prilaku seperti ini? Egois?? Mungkin, saya enggak tau yang pasti saya lelah dan muak liat sikap2 itu.

Saya menyimpan rapat pilihan saya di dalam hati, mungkin suami saya tau siapa pilihan saya, tapi kami pun  enggak banyak membahasnya. Saya sering lihat orang2 di lingkaran pergaulan media social saya sering menyanjung Capres Pilihannya yang sering juga beda dengan pilihan saya, tapi saya enggak pernah mau nyerang. Saya berfikir, ini demokrasi, silahkan pilih yang anda suka karena saya menghormati anda, dan saya ingin anda melakukan hal yang sama terhadap saya.
Tapi lain kenyataannya dengan beberapa orang di lingkaran media social saya, yang kadang melihat orang lain yang menyanjung capres pilihannya lantas ‘diserbu’, disudutkan, diolok bahkan berujung pada adu argument.

Suami saya yang dikenal cukup vocal pernah ikut menyuarakan isi kepalanya, ia menulis sesuatu di laman FB nya tentang pilihannya, saya pikir itu gak salah. Toh selama ini teman2 di FB saya banyak yang begitu, dan saya pikir itu hak azasi dia, kalo saya enggak sepakat ya saya gak usah capek2 mikirin apalagi ngabisin waktu mendebat. Karena media social bukan tempat paling fair untuk berdebat.
Lagi pula apa sih yang perlu diperdebatkan, toh salah satu Capres akan jadi presiden kita. Apakah kalau presiden pilihan kita kalah kita akan diusir dari Negara ini?
Apakah pula kalau presiden pilihan kita terpilih kita pun tiba2 jadi kaya mendadak atau dikasih jabatan mentri? Enggak kan? Kita akan menjalani hidup kayak biasanya kan apapun itu?
Jadi kenapa kalau hidup akan berjalan seperti biasa siapapun yang terpilih, kenapa kita harus kehilangan sahabat, saudara, kerabat maupun kenalan hanya karena ini?

Saya merasa hubungan silaturahim dengan semua orang adalah hal penting, saya enggak mau menjadi orang yang gegabah dalam menentukan sikap. Yang saya pahami, hidup saat ini tidak bisa dipandang hitam atau putih, tapi ada abu- abu yang kita mungkin gak mampu menterjemahkannya.
Didalam ketidakpastian itu, kita akan tetap hidup dalam masyarakat, kita tetap hidup bersama di Negara ini, sebuah perpecahan gak berguna apa2 untuk kita, gak akan membangun apa2 buat Negara kita. 

Maka dalam tulisan ini, saya mau bilang pada semua orang, jangan menjadi pemicu masalah dengan terus menerus terpancing emosi dan memancing emosi orang lain dalam urusan Pilpres, apapun hasilnya, Negara kita harus tetap dipimpin seorang Presiden dan Negara kita harus maju. Gak akan ada kemajuan sebuah bangsa yang dng adanya perpecahan apalagi sebuah kerusuhan. Mari dukung
kedamaian untuk Indonesia.