Pages

Thursday, September 17, 2009

Mudik...

Mungkin bangsa kita satu2nya di dunia yang memiliki tradisi mudik di hari raya, suatu kebiasaan yang saya pikir cukup unik. Bayangkan demi sebuah silaturahim orang rela melakukan pengorbanan biaya,waktu,tenaga bahkan kenyamanan. Hebat ya!betapa kuatnya daya tarik kenikatan silaturahmi, yang mungkin di Negara Negara lain yang namanya silaturahmi adalah hal paling akhir untuk dilakukan.

Pernah liat sendiri atau nonton di tivi kan gimana macetnya jalanan menuju jawa dan semua pelabuhan penyeberangan, itu baru dari sisi kendala teknis.Kalo ditilik lagi betapa gilanya ongkos untuk melakukan perjalanan itu, saya sering gak habis fikir,betapa mudik itu mampu membocorkan tabungan selama setahun!

Namun itu semua tidak menyurutkan hasrat orang-orang untuk tetap mudik setiap tahunnya…ck..ck..ck..




Saya sekeluarga bukan type “pemudik setia” ,saya emang punya kampong halaman,kampong halaman beneran,karena masih punya rumah,orang tua dan keluarga yang menetap disana,tapi sejak papa saya pension,papa dan mama lebih sering berlebaran di Jakarta.Kalo suami saya ngakunya aja punya kampong halaman,tapi keluarga dekat tidak ada lagi yang menetap di kampong,eheehhe…Jadi suami saya baru pertamakali seumur hidupnya merasakan mudik adalah pas menikah sama saya, selama perkawinan,kami sudah 2 kali merasakan mudik lebaran,dan dia begitu terkesan dan katanya jadi rindu hingar bingar mudik..ahahhaha..
Dan mertua saya yang juga seumur hidup tidak pernah merasakan mudik karena gak memiliki kampong ‘sungguhan’,akhirnya tahun lalu merasakan mudik,dengan cara ikut kakak ipar saya mudik ke kampong halaman istrinya di Solo.Dan mertua saya pun pulang ke Jakarta dengan sejuta cerita dan kesan tentang mudik,bahkan berniat ingin ikut-ikutan mudik lagi tahun berikutnya meski bukan ke kampong sendiri..
Hal sama dirasakan oleh rekan-rekan saya di kantor,kebanyakan dari mereka adalah pemudik sejati,yang kerjaannya nabung tiap bulan dan dihabiskan ketika mudik di kampong.Namun hal tersebut tidak menyisakan sesal maupun keluhan,justru sebaliknya,padahal tabungan terkuras,capek di jalan dan waktu terbuang begitu banyak.
Saya jadi berfikir fikir,bahwa mudik memang sudah menjadi tradisi mendarah daging.Sejuta ketidakefisienan dan sejuta kesulitan yang ada rasanya mudah saja diabaikan,demi mengobati rasa rindu pada keluarga dan kampong halaman…
Namun saya pernah menemui orang-orang yang pada kesempatan mudik dipakai untuk pamer kesuksesan di kampong,bahkan demi itu semua rela menghutang agar terkesan ‘sukses’ di mata orang kampong dan keluarga,ahahaha…
Yaah apapun motifnya,mudik adalah hal yang menurut saya adalah tradisi yang harus disikapi secara proporsional,tetap realistis dalam pengalokasian dana mudik,tetap well prepared menghadapi mudik,dan realistis menghadapi kendala mudik. Dan terakhir jadikan mudik sebagai wahana silaturahmi,bukan untuk pamer,takut berkahnya malah ilang…heheheh
Selamat mudik!

Friday, September 11, 2009

Novel Perahu Kertas

Kisah bermula dari persahabatan Kugy,Noni dan Eko yang kemudian mempertemukan Kugy si tokoh utama dengan Keenan,cowok blasteran belanda yang very talented untuk menjadi pelukis namun harus mengikuti keinginan orang tua untuk kuliah bisnis. Sementara Kugy adalah sesosok gadis unik yang gemar berkhayal dan membuat dongeng.Tokoh Kugy dan Keenan digambarkan sebagai sosok-sosok manusia berkarakter dan unik.Keunikan mereka berdua mengantarkan mereka pada sebuah rasa cinta kasih yang begitu kuat. Keunikan Kugy yang kerap menulis surat pada Neptunus dan menghanyutkan surat yang dibentuk seperti perahu kertas itu membuat karakter Kugy begitu kuat dan semakin unik, gak banyak orang memahami dirinya, kecuali Keenan yang selalu menganggap Kugy adalah sumber inspirasi.Apajadiny a jika Kugy ditarik menjauh dari kehidupan Keenan?Buku ini menceritakan seorang pekerja seni yang stuck seakan ‘mandul’ kehilangan sumber inspirasinya,persis seperti pelukis yang terpotong tangannya.
Seperti layaknya sebuah kisah percintaan,tentunya gak mudah bersatu, berbagai tokoh lain mewarnai kisah ini, mengulur2 si kisah cinta sejati memilih jalan memutar untuk bersatu.Ojos, Wanda, Remi bahkan Luhde sempat membuat situasi alur cerita menjadi sulit ditebak. Menarik!saya harus akui buku ini menarik.

Sebuah cinta manti sometimes memang bisa membuat gaya tarik menarik tersendiri, walo menurut saya itu semua gak bergeser dari yang namanya takdir dan jodoh dari Tuhan.
Novel ini gak Cuma kisah cinta nya yang memukau, tapi kisah mengenai perjalanan idealism mewujudkan talenta danmenajdi diri sendiri dalam membangun kesuksesan karier benar-benar mampu membuka mata,terutama bagi orang seperti saya yang memiliki problematika antara soul dan carier yang berlawanan, buku ini seperti memberi dan membagi kisah, bahwa seseorang akan begitu ‘hebat’ jika mengerjakan sesuatu dengan hati.Berkarier harus dengan idealism dan dorongan hati,gak banyak orang yang “jujur” menjalani semua itu, saya jadi melayang membayangkan Rene yg sering memberikan motivasi karier and soul yang sering saya dengarkan di hard rock FM.
Well..Dewi lestari memang jagonya dalam hal kayak gini, idealism dan alur crita yang menyentuh, jelas membuat saya malas beranjak meninggalkan buku ini, recommended banget..Dewi Lestari emang canggih tuh "tangannya"!

Tuesday, September 1, 2009

Selamat jalan Eyang

Ini puasa pertama tanpa eyang tercinta, memang saat-saat ini terasa begitu tak nyata rasanya..Yang bisa saya ingat eyang masih ada di rumah Pekayon, demikian yang secara reflek ada di pikiran saya,tapi ketika mencoba mengingat kembali fakta yang mencuat ke benak saya adalah eyang sudah tidak ada, beliau telah berpulang kepada Allah.

Kejadiannya adalah Sabtu 2 pekan lalu, 15 Agustus 2009 pukul 06.20 pagi di RS Kardiovaskular Puri Cinere. Sebenarnya sudah beberapa minggu lalu,tapi saya masih tidak sanggup membuka folder foto2 saat pemakaman,hati masih terasa sedih. Saya memberanikan diri memposting karena sudah beberapa teman mengingatkan,maka saya pun akhirnya memberanikan diri.




Memang seperti yang saya critakan sebelumnya eyang sempat kritis, kami telah pasrah dan iklas. Saya mencintainya tapi Allah jauh lebih mencintainya,ketika Eyang berpulang pun kami pasrah. Ketika mendengar kabar, saya ada di rumah, yang bertugas menunggu eyang adalah Mama saya dan Tante Betty, ditemani beberapa sepupu saya Rizki, Adit dan Yudha. Eyang pergi begitu tenang, bahkan bisa dibilang hampir tidak ketahuan. Tau-tau para perawat dan dokter jaga sudah masuk ke ruangan karena menangkap signal denyut nadi melemah dari ruang kontrol, dan itu berlangsung kurang dari 10 menit. Mengingat sebelumnya eyang masih di sonde (memasukkan cairan makanan dari hidung) dan mandi pagi dalam keadaan denyut nadi,jantung dan tekanan darah yang normal, meski kesadaran sudah masuk tingkat koma. Menurut mama dan tante betty, eyang pergi layaknya orang tidur saja, tidak ada gerakan ekstrem sebagai tanda maupun hembusan nafas panjang. Insyallah ia pergi begitu tenang…

Pagi itu saat dikabarkan,saya segera bersiap, hampir dikatakan saya tidak menangis,saya berusaha untuk itu. Tapi apa daya di kamar mandi saat saya sendiri tiba-tiba saya seperti flashback mengingat hari-hari yang lalu yang pernah saya lalui bersama eyang,dan disitulah air mata saya tak tebendung,kenangan-kenangan itu terasa begitu indah dan mengharukan.





Banyak kenangan begitu indah kami lewati bersama,begitu banyak mimpi2 indah bersama kami wujudkan. Eyang selalu ingin dan berdoa memiliki cicit sebelum wafat,dan Alhamdulillah untuk pertamakalinya saya mempersembahkan cicit baginya dari rahim saya,Calulla lalu disusul oleh saudara2 saya lainnya yang ikut memberinya cicit.Begitu banyak rasa sayang dan bangga yang ia curahkan pada saya dan putri saya,kadang saya merasa saya ke-g e er-an kalo dia selalu memuji putri saya,seolah putri saya adalah kebanggannya.Kadang masih terngiang di telinga saya bagaimana perasaan saya ketika mengangkat telepon yang langsung terdengar sapaanya “Hellow sayaaaang..”. Saya teringat tahu isi bikinannya,saya teringat huzaren sla kebanggaannya,saya teringat bincang2 kami sambil minum the membahas gossip selebrity, saya pun kerap teringat sama diskusi seru tentang Negara dan demokrasi antara Tori dan eyang,secara eyang adalah salah satu pejuan di jaman jepang.Semua itu sungguh indah dan ‘ngangenin.




Eyang di semayamkan di rumah Cinere, sampai sana saya langsung sibuk-sibuk mengurus segala keperluan, hingga rasa kehilangan tergantikan dengan kesibukan mempersiapkan pemakaman. Saya sempat ikut memandikan eyang,saat itu kami semua anak dan cucu perempuan partisipasi memandikannya. Tapi lagi2 saya cengeng,well…saya nangis,meski terkendali. Terasa banget kalau saya telah kehilangannya.Saya sangat bersyukur memiliki suami seperti Tori,pada saat itu dia begitu tanggungjawab mengurus semua keperluan makam di TPU Kampung Kandang mewakili keluarga,dan semua alhamdulilah berjalan lancar dan mulus.Terimakasih Tori.Hari itu juga eyang dimakamkan, lebih baik disegerakan begitu sunahnya.



Itulah end of life Eyang, sedih jelas kami rasakan,tapi saya pribadi merasa lega karena sampai akhir hidupnya saya sempat memberikan kebahagiaan padanya sebagai balasan semua kbaikan dan kebahagiaan serta kasih sayang yang ia berikan. Di hari-hari akhirnya,saya sempat mengurusnya,menemaninya,menghibur sakitnya dan menunjukkan rasa kasih kepadanya. Allah berkehendak lain,Allah menyayanginya dan memintanya kembali ke pangkuannya. Saya melepasnya dengan iklas, mencoba tegar dan melepasnya dengan senyum, dan membisikkan dalam hati how I love her.

Sehari sebelum meninggalnya beliau,saya bertemunya untuk terakhir kali di RS, saya menciumnya dan mengatakan “Eyang,I love you”,saya tau dia masih memiliki kesadaran meski hanya 40%,saya tau ia mendengar saya,ketika saya meletakkan kepala saya di sebelah kepalanya ia menekukkan tangan dan memegang kepala saya, ternyata itu salam perpisahan,keesokannya eyang sudah pergi.mengingat moment itu saya ingin menangis, betapa kami berpisah dengan saling mengungkapkan rasa sayang satu sama lain.

Yang pasti saat ini saya masih suka dejavu kalo eyang masih ada, saya belom terbiasa untuk menyatakan eyang sudah enggak ada. Mungkin lebaran nanti saya baru terasa,kalo eyang sudah gak bersama kami.

Selamat jalan eyang…We love you!

(Dedicated to Our beloved Eyang, Ny.Hj.Siwi Syamsini Soesilo Djoyosoediro 13 Mei 1925 – 15 Agustus 2009)