Pages

Monday, December 2, 2013

Kelas Menengah Ngehe

Lagi rame nih orang ngomong soal kelas menengah ngehe, hahha entah lah apa definisi yang tepat untuk menjelaskan ini. Tapi fenomena ini hampir banyak kita temui dimana pun kapan pun, hehe. Mungkin karena saking besarnya populasi middle class di masyarakat, sehingga perubahan style pergaulan orang dari kalangan masyarakat ini akan jauh lebih teridentifikasi.

Saya gak tau apa batasan yang disebut kelas menengah ngehe ataupun kelas menengah biasa aja. Justru saya ini merasa sebagai manusia kelas menengah, kenapa saya bilang begitu karena saya bukan jutawan sekelas Abu Rizal Bakrie dan keturunannya, namun saya merasa relative hidup berkecukupan dibanding dengan orang pekerja bawahan yang berpenghasilan kecil dibawah UMR.  Artinya saya ada ditengah2 dua kalangan ini, tepat kalo saya menyebut diri saya adalah kalangan menengah. Tapi kalo dibilang kelas menengah ngehe, saya gak bisa bilang iya, karena sebagai masyarakat kalangan ini saya merasa tidak memaksakan keadaan maupun berperilaku berbeda.
 Saya dulu diawal membangun rumah tangga memiliki pekerjaan yang lumayan dan sudah mampu memenuhi basic need dengan baik, spt berhasi beli rumah yang ukurannya gak sempit, kebeli mobil serta pendapatan yang tersisa terasa banyak meski telah selesai memenuhi basic need, akhirnya membuat saya menghabiskan uang sisa itu tanpa tujuan jelas dan ujung2nya membiasakan hidup dengan barang2 branded,memiliki gaya hidup modern dari mall ke mall, travelling kemana- mana tanpa mikirin apakah jumlah tabungan dan investasi saya sepadan dengan pengeluaran hura- hura saya, saya pun masih cenderung ikut- ikutan  dengan gaya hidup orang. Saat itu untuk beli makanan anak saja saya harus belanja ke ranch market, makanan lulla saya lebih percayakan pada produk impor, tanpa mikir sudah halal kah? Untuk beli pakaian harus branded, saya gak bisa liat kata sale dikit, bahkan saya pernah ngantri beli diskonan mark and spencer dengan antrian kasir yg gak wajar.
Saat itu saya rasa saya tepat jika disebut kelas menengah ngehe.

Namun karena semakin usia bertambah, saya makin berfikir bijaksana, bahwa gaya hidup itu pilihan kita masing2. Setiap orang punya tujuan, maka setiap orang punya kebebasan menentukan bagaimana ia menyusun prioritas hidupnya. Apakah mau memprioritaskan diri dengan memperlihatkan tampilan lahiriah dan gaya hidup (seolah) jetset tapi ketahanan financial ga maksimal atau lebih memilih menjadi orang yang terlihat biasa2 saja tapi memiliki ketahanan financial yang cukup kuat untuk menyongsong masa depan?

Seiring berjalannya waktu, saya pun mulai menata diri dan menentukan prioritas hidup saya, saya memandang hidup bagi saya makin baik jika lebih memiliki persiapan yang memadai untuk menyonsong masa depan dengan cara mempersedikit pengeluaran tidak perlu, hidup lebih santai tidak terbebani akan trend , meminimalisir hutang  dan  lebih mengembangkan investasi maupun tabungan.
Tabungan dan investasi saya bedakan, karena investasi saya lebih maksudkan untuk property, asuransi, emas maupun surat berharga, sementara tabungan lebih pada tabungan berupa dana liquid dan tabungan berjangka. Untuk meraih ini, saya dengan sangat  logis memangkas biaya2 tidak perlu, seperti cermat dalam belanja makanan, mengurangi kebiasaan hangout yang menyedot biaya tidak sedikit, saya tidak lagi minded harus belanja di tempat dan merk tertentu, saya lebih banyak mengunjungi pasar tradisional untuk memenuhi kebutuhan makan harian daripada supermarket, karena selain jauh lebih murah, beberapa item seperti ayam, saya menyaksikan sendiri proses pemotongannya yg insyallah halal. Saya pun mengendalikan kebiasaan menginginkan barang yang tidak saya perlukan, saya mengedepankan konsep membeli karena butuh bukan karena ingin. Untuk pembelian kendaraan, saya memilih pembelian dng cara cash agar tidak menimbulkan beban tambahan. Saya pun tidak mainded harus diantar jemput dengan mobil meski punya supir pribadi, saya mencoba praktis dengan moda transportsi tercepatdan terefisien. Saya mengikis agenda jalan2 ke mall rutin mingguan bersama anak2, saya coba ganti dengan kegiatan anak2 yang lebih outdoor atau kegiatan penuh kreatifitas, dengan mengadakan kegiatan2 menyenangkan seperti masak bareng maupun mengerjakan project bersama seperti membuat handcraft. Saya pun kemudian membuat agenda2 travelling yang proporsional, saya menargetkan jumlah tabungan terlebih dahulu baru menentukan agenda travelling.
 

Saya sadar sepenuhnya bahwa saya adalah kalangan menengah, diatas saya banyak orang yang memiliki keberlimpahan materi bahkan mungkin gak habis tujuh turunan. Saya cukup tau diri apa yang saya miliki saat ini belum ada apa2nya. Pemahaman ini membuat saya senantiasa mencoba untuk selalu rendah hati, gak mau berhenti berupaya dan selalu bijaksana menggunakan uang. Disamping itu adanya pemahaman bahwa saya cukup beruntung karena memilki kehidupan yang jauh lebih baik dari orang2 berpenghasilan dibawah UMR, dimana untuk basic need saja orang2 itu kesulitan, membuat saya merasa bersyukur atas karunia Allah ini, saya merasa harus menjadi lebih baik lagi menjalani ibadah saya kepada Nya, saya pun merasa punya tanggungjawab lebih untuk dapat membagi rezeki saya kepada kaum yang gak seberuntung saya.
Sehingga saya berkesimpulan bahwa menjadi kalangan menengah gak semestinya menjadi ngehe, ada baiknya disikapi dengan bijaksana, bersyukurlah kita bisa hidup lebih normal, karena dalam pandangan saya hidup terlalu kaya itu tidak enak, terlalu miskin pun sungguh sengsara. Bersyukur dan tau diri adalah kunci menjadi kalangan menengah yang tidak ngehe, karena efek dari ungkapan kelas menengah ngehe adalah karena adanya sebuah realita bahwa beberapa masyarakat yang berangkat dr kaum menengah banyak yang bergaya bagai orang kaya baru dan bersikap sombong seolah telah menggenggam dunia. Jika semua kaum menengah menyikapi hidup cukupnya dengan tetap rendah hati saya rasa gak akan ada ungkapan ini.

Menurut pandangan saya jika kita diberi kelimpahan materi saat ini, (mungkin dulu belum seperti ini), kita harus jauh lebih bersyukur,berhentilah berfikiran untuk dianggap sukses itu berarti harus punya materi seperti apa, harus bergaya hidup jetset,harus bisa beli ini dan itu yang kemudian harus dipamerkan berlebihan dan ogah terlihat hidup biasa saja.
Buat saya hidup cukup dan siap menyongsong masa depan dengan ketahanan financial yang baik adalah sebuah goal hidup yang cukup logis dan proporsional. Tapi sekali lagi, pilihan hidup ada pada diri kita masing2, saya menghormati seluruh orang dengan prilaku yang mengarah pada kelas menegah ngehe sekalipun, saya gak berani judging bahwa yang begitu itu norak atau apa meskipun sebagian besar tentu merasa terganggu dng org2 berprilaku demikian.

Meski tidak mudah, saya rasa untuk dapat hidup berdampingan dengan nyaman saat bertemu segelintir orang dengan type kelas menengah ngehe begini, ada baiknya kita mengedepankan pemikiran  tiap orang punya kebebasan menentukan akan dihabiskan untuk apa hidupnya, pandangan semacam ini juga mungkin bisa mengurangi dosa kita supaya gak jadi nyela orang ataupun memandang orang miring :)
Selamat memasuki bulan Desember, salam hangat saya untuk semua sahabat!

Thursday, November 21, 2013

Prestasi di raport pertama Lulla

Ini adalah cerita saya waktu pertama kali mendapat Raport akademik sekolah Lulla. Tidak sempat terposting, tapi sekarang saya posting ya :)

________________________________________________________________________________

Mungkin hampir seluruh ibu di dunia ini akan merasakan sama dengan apa yang saya rasakan, kawatir dengan prestasi anak- anaknya di sekolah. Yah,sejak Lulla masuk SD saya memang menjadi panik setiap kali dia akan menghadapi ulangan, karena saya tau betul bahwa psikologis anak yang dari TK ke SD itu lumayan berat.

Di TK anak-anak kan belum dituntut banyak, sementara di SD anak dituntut untuk mengejar prestasi. Kejadian pada Lulla, ia masih gak mengerti apa itu ulangan, kenapa harus ada jatah waktu pengerjaan soal, kenapa harus ngerjain PR, apa itu nilai, guna nilai itu apa. Dan lain sebagainya. Hal- hal yang gak mudah untuk dijelaskan.
Dengan kondisi seperti itu membuat Lulla seperti seperti malas2an dalam melakukan review pelajaran. Sebelum ulangan pun sepertinya santai2 saja, kadang malah saya yang sangat tegang dan panik, sementara ia tetap santai saja.
Saya akui Lulla adalah anak yang cerdas,dari sisi IQ ia memiliki keunggulan dengan berada di angka 120 (superior) jika diukur dengan skala Wechsler, tentunya tidak sulit baginya menangkap sebuah pelajaran, tapi menilik dari pola santai yang dia terapkan dalam belajar, saya tetap kawatir.
Ditambah dengan kesibukan saya mengurus Brave yang masih bayi dan mengurus karier saya yang juga gak tau kapan santainya, saya jadi terbatas untuk punya waktu mengajar Lulla.

Terkadang saya menyempatkan diri sepulang kerja mereview pelajaran, mengoreksi PR, mengajari pelajaran sekolah dan lain2. Kadang itu juga dirasa tidak kondusif, dimana di fisik saya yang lelah kadang membuat saya hilang kesabaran. Jadi yah, kadang seadanya saja.

Tapi memang kunci mengajar anak bukan kuantitas semata tapi kualitas dan kontiunuitas,jadi gak bisa asal2an dan suka2 aja yah. Harus tekun biar mental belajar anak terbentuk disitu. Jujur saya belum sukses untuk itu.
Di bagi raport kemarin saya merasa belum maksimal, dari nilai-nilai raport yang dibagikan oleh sekolah, Lulla mendapat dua angka 10 yaitu di mata pelajaran English dan Bahasa Indonesia, dan nilai paling kecil adalah angka 8 untuk olahraga. Sepintas terlihat memuaskan karena buku raport dihiasi dengan angka 8,9 dan 10, tapi ternyata Lulla hanya berhasil menempati peringkat ke 3 di kelasnya.
Not bad but not really good, ehehehe...masih gak puas aja. Karena saya yakin jika diasah dengna baik anak ini pencapaiannya akan lebih dari ini. Tapi saya cukup mengapresiasi dia atas pencapaian itu, lumayan lah untuk anak yang begitu santainya itu. Jadi saya tetap mengucap terimakasih atas persembahan prestasinya, dan saya juga masih berharap ada peningkatan yang berarti di semester mendatang.

Memang ini adalah fase yang gak mudah, dimana merawat bayi sendiri,mewujudkan impian memberi ASI sampai 2 tahun, harus dibarengi dengan memberi bimbingan belajar buat Lulla dan karier yang gak ada santainya, semoga Allah kasih kemudahan, karena balik ke prinsip hidup saya : HIDUP HARUS DIISI DENGAN KERJA KERAS AGAR BERMANFAAT BAGI UMAT DAN AGAR JADI AMALAN BEKAL AKHIRAT, ehehehhe...

Wednesday, November 20, 2013

Menuju Life Satisfaction



M
anusia tidak akan pernah cukup, istilah yang sering sekali kita dengar. Meski itu benar adanya, saya berpendapat tiap manusia perlu untuk memiliki rasa kepuasan dalam hidupnya, setidaknya berdamai dengan diri atas takdir dan kehidupan yang Allah berikan kepadanya. Meski kita tidak boleh menyerah dan segera puas atas apa yang kita peroleh, namun sebagai manusia yang bijak, anda punya hak untuk memilah mana yang anda anggap cukup dan mana hal yang anda anggap harus terus diperbaiki dan upayakan untuk jadi yang terbaik diantara manusia lainnya.
Kemampuan memilah ini saya kaitkan dengan life satisfaction seseorang. Kalau menurut literatur, life satisfaction adalah komponen kognitif dalam subjective well being, subjective well being mengacu pada perasaan subjektif individu bahwa kehidupannya berjalan dengan baik. Subjective well being ini diidentifikasi sebagai positif affect dan negative affect. Komponen afektif ini mengacu pada evaluasi langsung terhadap peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, meliputi perasaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang dialami individu dalam hidupnya. Kepuasan hidup sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk menikmati pengalaman- pengalamannya yang disertai dengan tingkat kegembiraanya. Dan life satisfaction dapat diukur dari seberapa baik dan memuaskan hal- hal yang sudah dilakukan individu tersebut dalam kehidupannya secara menyeluruh dan atas area utama dalam hidup yang mereka anggap penting, seperti hubungan interpersonal, kesehatan, pekerjaan, pendapatan, spiritualitas dan aktifitas di waktu luang. Dan hal ini berpatokan dari kepercayaan orang tersebut dalam menilai kehidupannya, ia yang dapat menilai apakah situasi dan kondisi kehidupannya positif dan memuaskan atau tidak.
Intinya seberapa besar seseorang merasa cukup puas atas kehidupannya, setidaknya untuk aspek- aspek penting dalam hidupnya. Saya yakin sekali life satisfaction akan berkaitan erat dengan rasa syukur seseorang atas kehidupan yang Allah berikan.
Mengapa demikian?
Karena, kadang kita sebagai manusia sering lupa, bahwa hidup kita sudah cukup, bahkan jauh lebih cukup dari orang lain. Contoh, saya pernah menemukan seseorang yang telah memiliki pernikahan, anak-anak, rumah sendiri dan kendaraan, tapi orang itu tidak puas atas apa yang dimilikinya, ia mudah terpancing ketika tetangganya membeli mobil baru yang lebih bagus dari miliknya, ia kadang kurang bisa menerima dengan lapang dada melihat orang lain naik jabatan sementara ia tidak. Padahal jika dilihat dari apa yang ia miliki, ia memiliki hidup yang lebih dari cukup, namun kehidupan orang yang ia nilai lebih baik dari dirinya membuat ia terusik, resah dan mencari cari kesalahan pada banyak hal.
Saat menemukan hal- hal semacam ini, menurut saya cobalah tenang, jangan tergesa- gesa melakukan judging pada banyak hal, entah pada tingkat keberhasilan diri anda meraih materi ,maupun pertanyaan mengapa anda tidak meraih prestasi tertentu, ada baiknya anda ‘bicara’ dengan diri sendiri terlebih dahulu. Anda sebaiknya mengembalikan pada pemikiran bahwa tiap orang punya beban hidup dan prioritas masing- masing yang sudah pasti tidak sama dengan anda. Dan jika anda melihat orang meraih prestasi tertentu, pernah kah anda berfikir lebih bijaksana, bagaiamana cara agar anda  mampu meraih prestasi yang sama baiknya, apakah anda memiliki kapasitas sebaik orang itu, apakah kontribusi anda sebesar kontribusi orang itu? jika belum bagaimana meraihnya?.
Jika anda melihat orang memiliki barang yang lebih bagus dari milik anda, pernahkah anda berfikir apakah benda yang sama suitable for me? Dalam artian sudah pantaskah anda memiliki hal yang sama, baik dari sisi kecukupan dana, maupun kesesuaian antara barang tersebut dengan kebutuhan/ prioritas dalam hidup anda?
 
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan berupaya untuk meraih sesuatu, yang salah adalah jika kita TIDAK menyusun prioritas pencapaian dengan baik, dan kita terlalu sibuk melihat dengan barometer diluar diri kita tanpa melihat kedalam diri kita sendiri.
Jika kembali mengangkat pada apa yang terjadi pada contoh yang saya berikan tadi, dimana seseorang mudah terpancing melihat orang membeli kendaraan yang lebih bagus dari miliknya lalu ia otomatis membentuk mindset bahwa “wah saya jangan sampe kalah dari dia”, lalu mati- matian mengupayakan untuk memiliki benda yang sama, saya kawatir orang ini menyusun prioritas yang salah dalam hidupnya. Karena sebuah benda tidak merefleksikan apa- apa tentang diri anda. Dalam hal ini kendaraan hakikatnya adalah kebutuhan dan berkaitan dengan kemampuan, tanpa memiliki kendaraaan yang sama atau lebih baik dari yang dimiliki orang, anda akan tetap hidup baik-baik saja dan tidak sengsara. Jika orang itu punya prioritas tertentu, anda tentu memiliki prioritas lain dalam hidup, mungkin anda bisa lebih fokus mempersiapkan hal hal yang lebih penting bagi kehidupan anda. Jika memang prioritas penting dalam hidup anda sudah terpenuhi, anda pun ternyata memiliki kebutuhan yang membuat anda harus membeli kendaraan yang lebih baik dari yang dimiliki sekarang dan ternyata anda masih memiliki dana lebih dari cukup, itu artinya anda memang patut memilikinya tanpa harus memaksakan diri. Sekali lagi tujuannya bukan karena anda ingin dilihat oleh orang atau terlihat lebih hebat dari orang, tapi karena prioritas hidup anda sudah beres, anda pun membutuhkannya untuk kemudahan hidup anda sekeluarga serta anda pun punya dana lebih untuk hal itu.
Inilah realita hidup yang saat ini kita hadapi, orang kadang terpancing untuk aktif mengawasi hidup orang lain dan mengabaikan Life Satisfaction nya sendiri.
Untuk itu cobalah tips berikut ini :
1.           Susunlah prioritas- prioritas hidup anda sesuai dengan porsi hidup anda, jangan mengacu pada kehidupan orang, karena hidup kita, pandangan kita, kebutuhan kita dan rezeki kita tentu tidak sama dengan orang lain.
2.         Berbahagia atas apa yang anda punya, ikutlah berbahagia atas keberhasilan orang, dan jadikan keberhasilan orang lain sebagai inspirasi dan energy positif yang ikut mendorong anda untuk bahagia dan menjadi kekuatan anda dalam mengejar mimpi bukan sebagai pengusik rasa bahagia dan tujuan hidup.
3.         Jujur atas hidup anda, buat diri anda percaya diri atas diri anda bukan barang- barang atau hal- hal lain yang melekat di diri anda. Menjadi percaya diri bukan berarti merasa selalu lebih baik dari orang lain, menjadi percaya diri artinya mencoba jujur dihadapan orang atas kekurangan diri anda, mau belajar, mau menerima kritik dan dengan fair mengakui kesalahan dan meyakini diri sendiri untuk dapat memperbaikinya. Jangan pernah menjadi orang yang gemar mencari kesalahan orang lain dan mengkambing hitamkan orang lain atas kekurangan atau kesalahan anda, karena hal ini dapat menghalangi proses belajar pada diri anda sendiri.
 
Menjadi pribadi seperti dikatakan tips diatas akan membuat anda selalu merasa bersyukur dan secara damai dapat menerima kenyataan apa yang anda dimiliki dan tidak dimiliki, secara tidak langsung hal itu  akan membuat anda berpacu melakukan perbaikan diri dengan cara yang positif, saya yakin pula anda akan jauh lebih bahagia, lebih menghargai diri dan hidup tenang tanpa harus berhenti berusaha memperbaiki diri. Jika sudah demikian, maka katakan selamat datang pada Life Satisfaction!
(ErryTMRiyadi)

Tuesday, November 12, 2013

Belajar Public Speaking

Saya senang bergaul dan berteman, dari kecil seperti itu, tapi ternyata cukup pengecut jika harus berbicara di public, apalagi bicara di forum yang serius. Saya saat saat SMA bukan anak bodoh, saya begini begini selalu masuk rangking 3 teratas di kelas, tapi jangan harap guru melihat saya sebagai siswa tauladan yang aktif di kelas, saya jarang bertanya atau kasih pendapat. Karena menurut saya saat itu bersikap begitu kelihatan lebay dan show off, selain itu saya juga grogi jika harus bicara di depan kelas dan menatap mata guru, padahal kalau tidak ada guru saya juara nakal nya di kelas.



Kebiasaan itu terus berlangsung sampai saya lulus kuliah, padahal ketika kuliah cukup aktif di organisasi, tapi ya itu saya tidak kehabisan akal untuk cari orang lain yang bisa saya sodorkan untuk bicara di forum selain diri saya pokoknya!  Sampai pada suatu titik saya mau gak mau harus memberanikan diri bicara di depan umum, saat saya jadi HRD, gak ada orang lain yang wajib menyampaikan kebijakan perusahaan selain saya, finaly saya kehabisan gaya untuk meyodorkan orang lain, maka saya pun menghadapi kenyataan, bicara di depan umum untuk pertama kalinya!

Hal itu akhirnya terus berlangsung, saya mulai terbiasa menerima tugas- tugas untuk menghadapi audience dari internal karyawan di perusahaan tempat saya bekerja.
Saya gak tau awalnya dimana, sampailah akhirnya saya mulai dapat tawaran ngisi seminar-seminar bertemakan soft skill diluar perusahaan dengan audiencenya adalah orang- orang diluar karyawan perusahaan tempat saya bekerja, orang- orang yang betul- betul asing buat saya. Dan hasilnya betul- betul berjalan lancar, bahkan kembali dapat undangan demi undangan serupa. Saya amazed sendiri, saya enggak pernah diajarkan public speaking apalagi kursus public speaking, tau- tau sudah dapat beberapa kali undangan jadi trainer di beberapa universitas.

Secara otodidak pun saya berlatih membuat materi- materi presentasi untuk training – training yang dibawakan, sekali lagi tanpa kursus formal, semua bergulir begitu saja.
Disini saya cuma mau share untuk pembaca yang mungkin memiliki masalah yang sama seperti saya dulu, takut jika harus bicara di depan umum, bagaimana menghadapinya? Saya yang dulunya sama sekali tidak terbayang untuk (akhirnya) memiliki skill ini dan ternyata bisa membuat orang cukup mencerna dan memahami apa yang saya sampaikan, merasa perlu berbagi tips, supaya apa yang saya dapat bisa bermanfaat, minmal untuk pembaca blog ini.

Berikut tips dari saya :
1.      Amati dan adopsi caranya
Amati trainer- trainer professional yang anda temui di media televisi maupun di acara training yang anda hadiri, lihat cara mereka luwes dalam bergerak. Lihat cara mereka berbicara kata perkata, dengan artikulasi yang jelas dan kepercayaan diri yang kuat. Gaya luwes bagaimana mereka memegang mic, saat batuk, saat curious menanggapi pertanyaan,cara mereka memposisikan diri bahkan materi menarik dan gaya joke mereka di panggung.

2.      Kuasai Materi

Kuasai materi training yang akan anda sampaikan, untuk awalan saya anjurkan anda melakukan riset sendiri, menyusun sendiri materi anda meski anda memiliki team persiapan yang cukup. Mengapa? Karena dengan anda menyusun sendiri materi anda, anda menguasinya secara tidak langsung, anda akan hapal luar kepala, tau betul detail- detail yang akan anda sampaikan. Saat anda di hadapan audience anda bukan menjadi orang yang membacakan slide anda, tapi menjadi orang yang menjelaskan isi slide anda, ingat semakin ringkas slide anda semakin terbuka ruang lebar bagi anda untuk menjelaskan isi materi anda.
 
3.      Hadapi Rasa Grogi
Saya percaya, trainer atau public speaker sekaliber apapun pasti memiliki rasa grogi, bohong kalau tidak. Tapi ada beberapa cara menghadapinya, pertama peganglah pulpen di salah satu tangan yang bebas, buat saya pulpen atau pointer adalah benda yang paling mungkin dipegang saat jd trainer, gak mungkin juga megang hp atau dompet kan? Heheh

4.      Kenali suara anda
Maksudnya gini, ada orang yang terlahir dengan suara cempreng, nah saya salah satunya, saya kalau bicara biasa sungguh tidak enak didengar, nyanyi pun begitu, jauh dari merdu. Tapi saya realize bahwa jika saya bicara dalam keadaan,serius saya mampu mengeluarkan suara2 yang lebih dalam atau berat. Nah saya latih ini kesekian kali, sampai saya tau ini suara saya yang akan saya tampilkan di public, bukan suara cempreng berisik saya biasanya. Mengapa? Setidaknya orang butuh kenyamanan saat mendengar kita bicara, agar materi yang disampaikan dapat dicerna tanpa harus membuat telinga orang lain sakit.

5.      Kontak mata
Ini masalah klasik yang sering timbul bagi public speaker, materi bagus, outlook bagus tapi gak menatap audience, justru menatap ke slide dan seolah hanya membacakan slide saja. Saya jamin trainer seperti ini hanya akan membuat audiencenya ngantuk, karena seolah tidak ada interaksi antara audience dengan trainernya. Anggaplah kita ngobrol dengan audience kita, anggaplah kita berdiskusi atau seolah kita sedang mengemukakan pendapat dihadapan mereka, dengan cara itu anda akan terus jaga kontak mata anda dengan mereka. Belakangan ini saya selalu akan menatap mata audience saya yang terlihat sudah mulai ngantuk atau sering bisik2, tujuannya agar mereka kembali focus kepada saya.

6.      Lemparkan Joke dan Berita Masa kini
Saya menyukai gaya trainer yang update, gaul, bisa kasih joke yang terkini dan mengangkat issue2 update. Saya perhatikan audience juga begitu mereka cukup senang jika kita memberi sample- sample kasus yang berkaitan dengan berita yang sedang hangat. Atau saya melemparkan joke2 yang terkait dengan topik2 yang hangat atau saya menampilkan video/ gambar yang terkait dengan issue2 yang sedang happening. Untuk itu banyak-banyaklah membaca berita, dengar radio dan media social yang rajin menyuguhkan berita dan isue2 hangat, combine lah dengan materi- materi training anda.

7.      Berpakaianlah dengan wajar
Menjadi pembicara di depan umum, sungguh menimbulkan efek deg- deg an tersendiri, semua orang tampak memperhatikan kita, itu benar adanya. Orang menatap kita, untuk mereka menatap kita tanpa membuat mereka harus melemparkan pandangan aneh apalagi bisik2, cobalah berpakaian yang aman, artinya normal dan tidak mencolok, tapi rapi, resmi dan tanpa aksesoris mencolok, agar sebagai awalan anda tidak perlu cemas atas pandangan orang yang terfokus terhadap pakaian anda.

 Yah paling saya baru bisa kasih contekan segitu tentang gimana saya melewati masa ketakutan saya saat menghadapi audience. Yang terpenting, semua trainer/ public speaker itu wawasannya luas, membuat dirinya tak habis akal menyampaikan sesuatu, jadi sekali lagi, membaca itu penting buat anda yang mau mulai belajar public speaking! Selamat Belajar J

Wednesday, November 6, 2013

Kids and Gadgets


Jaman udah canggih banget, orang jaman sekarang gak pernah kurang hiburan dan gak pernah kekurangan media ngabisin kejenuhan. Semua udah ada  dalam sebuah benda kecil disebut smartphone semua jenis hiburan bahkan. Handphone maupun tab laris manis di Indonesia,trakhir saya dapat info  Indonesia adalah pengguna Tab terbesar di dunia. Ya gimana enggak, anak 3 tahun jaman sekarang tinggal di Indonesia rata2 punya tab semua, masing2 nenteng gadget modern itu kemana pergi.

Dari games, playlist music, berita sampe e-book ada semua di tab atau smartphone tiap orang. Saya juga pengguna smartphone. Cukup gemar media social karena bisa berjumpa dan akrab- akrab lagi sama teman- teman lama saya. Lalu saya juga sering ngandelin playlist di smartphone untuk menghibur diri saat naik kereta sepulang kerja, tapi untuk games, berita dan ebook jarang banget pake media smartphone. Saya sendiri gak punya tab, awalnya punya, lalu merasa gak praktis, karena harus bawa2 gadet yang butuh diperhatiin batere nya, ah ribet, akhirnya skrg cuma pake satu smartphone saja, cukup dan tanpa power bank pula, saya bener2 orang jadul yang gak suka ribet.

Saya nulis ini cuma mau menggambarkan bahwa jamak banget bagi orang sekarang menikmati kesendiriannya tanpa harus kesepian. Orang sekarang juga mungkin mulai menikmati masa2 antri panjang menunggu sesuatu karena tak lagi menjemukan. Dan untuk itu semua orang menghibur dirinya dengan gadget- gadget canggih dalam genggaman.

Saya enggak tau ya efek jangka panjangnya orang- orang yang kecanduan menggunakan gadget dan ikut menulari kebiasaan itu pada anak- anaknya. Tapi saya sendiri melihatnya, anak anak emang cenderung meniru dan susah sekali untuk dihentikan sekalinya kita mengajarkan gaya hidup tertentu pada mereka.

Saya ambil contoh soal gadget play station, mungkin anak- anak saya terlihat ndeso saat pergi bersama, mereka tidak menenteng gadget apa2, tidak juga smartphone, ipad atau tab apalagi playstation portable. Tapi saya mensyukuri ini, karena anak2 jadi lebih banyak aktif permainan fisik, dan khusus untuk Lulla ia menaruh minat yang besar pada handcraft. Saya juga mudah mengarahkan Lulla untuk membaca buku. Saya pun akhirnya tidak mengalami masa2 senewen karena harus pake perang melepaskan anak balita saya maupun gadis kecil saya dari kecanduan PSP. Saya pernah lihat teman saya sampe harus marah besar ketika melihat anaknya ngamuk karena harus mematuhi aturan pembatasan main Playstation. Duh kok ya jadi repot ya gara gara benda satu ini  pikir saya.

Buat anak- anak saya, saya ingin mereka tumbuh normal setidaknya mirip seperti saya kecil dulu. Saya kecil bersama abang, adik  dan kakak perempuan saya yang lain, kami tidak pernah difasilitasi mainan mahal, abang saya pernah punya SEGA kala itu anak2 lain sudah main PS, hahah… ktinggalan jaman banget. Saya pun hanya pula 1 buah Barbie yang harus saya mainkan berdua dengan adik saya. Itupun baju barbienya cuma 1 stel itu aja, membuat saya kreatif menjait sendiri baju Barbie saya dengan kain bekas, saat itu usai saya kelas 5 atau kelas 6 SD. Saya dan kakak2 pun jika mau beli buku jarang diprovide beli buku baru di toko buku, tapi lebih banyak diarahkan hunting buku bagus di toko bekas, oleh karena itu saya sampe sekarang saya punya rasa excited besar saat menemukan bazaar buku murah, jaman sekarang beli buku murah kadang jauh lebih hemat dibanding harus nawar di bursa buku bekas.

Saya ingin anak2 menjadi sekuat dan sekreatif itu menjalani hidup. Saya gak setuju jika harus provide apa2 yang sama dengan teman2 nya, bukan karena saya tidak mampu, tapi saya ingin mereka lebih keras meraih keinginan mereka, mereka harus lebih kreatif menggapai keinginan mereka.

Saya memang gak bisa ‘plek’ menyamakan situasi saya kecil yang tumbuh di kota kecil dengan kehidupan sederhana dengan kondisi anak2 saya sekarang, tapi setidaknya hidup sederhana dan penuh perjuangan telah saya tanamkan sejak dini. Konsep hidup hura hura, glamor dan mudah, saya upayakan untuk tidak mereka biasakan dalam hidup mereka. Untuk itu saya mulai dengan kebiasaan mereka untuk tidak saya fasilitasi dengan gadget mahal sepertinya sebuah awalan yang sejiwa dengan prinsip didikan saya.

Saya tidak maksud menyatakan ini pola didikan terbenar bagi semua parents, tapi bagi saya dan suami pola ini yang kami pilih. Bagi para parents lain pasti punya strategi lain yang mungkin lebih cocok dan pas dengan latar belakang maupun visi misi hidupnya.

Thursday, October 24, 2013

Konsumtifnya anak sekarang

Pekan lalu saya dapet undangan seperti biasa di sebuah universitas untuk memberikan materi pengembangan diri disebuah seminar buat mahasiswa yang baru lulus. Sejak 2 tahun lalu saya menapaki hobby baru berupa menjadi trainer dan motivator bagi anak- anak muda, untuk sementara belum komersil yang gimana, tapi hanya sekedar membagi Ilmu dan hobby belaka.
Saat itu saya mendapat ‘jatah’ untuk memberi materi tentang integritas. Secara pribadi saya sedikit banyak miris melihat perkembangan anak sekarang. Saat saya Tanya kepada audience siapa pemakai Handphone Galaxi S IV? Siapa pengguna Iphone 5 ? wah audience saya yang berusia belasan tahun itu banyak yang antusias menunjuk. Namun ketika saya tanya, coba siapa disini yang sudah bekerja dan berpenghasilan diatas 4 juta? Tidak ada yang menunjuk tangan. Segera saya guyoni anak2 itu, wah kalo begitu kalian lebih besar pasak dari pada tiang, gaya oke kantong enggak oke, gerrrrr… seisi ruangan tertawa geli bercampur malu.

Sebenernya ini masalah simbol2 pergaulan yang sekarang ini begitu kuat melekat dimindset orang, bahwa untuk dianggap sukses itu orang harus ber outlook keren dan update, tapi masalah kekuatan financial sebenarnya cenderung memilih untuk fatamorgana saja.
Baru- baru ini ada pembukaan sebuah butik brand baju casual ternama tentunya brand impor ya, waduuuh orang- orang seperti kalap, masa iya ada yang mendatangi mall dari jam 5 pagi dan itu pun dia bukan antrian pertama.
Ini bukan kali pertama loh orang di Jakarta bisa spt kehilangan akal dengan rela antri berjam jam gak jelas untuk hal yang intinya belanja barang. 

Sebenernya apa yang terjadi kenapa masyarakat sekarang begitu konsumtif?
Ya kalo menurut saya, orang sekarang hidup dengan standar umum, gak pernah bertanya dengan jujur kepada hatinya, apakah standar umum suitable untuk saya? 

Contoh, beli baju brand pake ngantri 4 jam, dengan alasan model simple dan bahan enak. Apakah beli di ITC gak ada yang model simple dan bahan enak? Apakah model baju di ITC sejauh itu trendy nya dibawah brand yang kalo kita mau beli maksa harga murah kudu antri 4 jam? Kan enggak juga. Kalo kita mikir realistis dan gak mentingin merk pasti kita akan milih beli baju murah, enak dipakai, cukup trendy dan sopan tanpa harus seperti orang kalap, gak peduli merk apa.
Atau sekarang lagi orang pakai kendraaan roda emapt kadang bukan lagi di fungsi tapi lebih pada prestige. Akhirnya gak peduli investasi yang dimiliki cukup menjamin hidupnya apa enggak, pokoknya pake mobil keren, mahal dan update, padahal masih utang.


Saya lihat orang mementingkan apa apa yang sifatnya lahiriah belaka, kesadaran ini harus kita hentikan dengan menghentikan kebiasaan menanamkan sifat2 konsumtif pada anak.
Langkah awal yang sederhana, biasakan anak memilih barang karena butuh bukan karena ingin. Tunjukkan kepada anak kebiasaan memilih barang bukan karena brand tapi karena kenyamanan. Biasakan anak melihat orang tua mengejar pengembangan kapasitas bukan hanya pengembangan materi.
Biasakan anak melihat segala sesuatu dari factor ekonomis dan tidaknya sebuah pilihan.
Bisakah kita membiasakan untuk refreshing dengan tidak melakukan aktifitas yang memancing kita untuk berbelanja?
Dan terpenting, sudahkan kita mengajarkan pada anak perjuangan hidup?
 Apakah kita sudah melatih mereka menghargai uang?

Untuk case terakhir ini saya pernah mencoba Lulla untuk belajar tentang sulitnya mencari uang, ia saya ajak ke sebuah pasar malam yang banyak pedagang. Ia saya berikan uang dua puluh ribu lalu kami pergi makan bubur kacang ijo, saya meminta ia membayar dari uang tersebut, sisanya saya suruh ia membeli barang yang ia butuhkan, saat itu ia memilih membeli kaos kaki. Sesampai di rumah ia saya ajarkan menghitung berapa kisaran pendapatan pedagang bubur dan pedagang kaos kaki tadi. Ia mulai mengerti perkalian dan tambah dan kurang, ia saya minta mengambil kertas dan pensil, saya meng-guidance nya untuk menghitung, lalu keluarlah angka margin penjualan dan modal. Disitu saya bilang itulah yang para penjual itu bawa pulang untuk hidup sehari- hari. Ia terperangah kaget melihat begitu kecilnya angka pendapatan para pedagang. Disitu nilai- nilai saya masukkan, bahwa hidup itu sulit, cari uang apalagi, jadi jangan manja dan jangan konsumtif, hidup harus di planning dengan benar. 

Bagi sebagian orang mungkin bertanya, seorang anak kelas 3 SD apa bisa mencerna penjelasan saya. Saya yakin mengerti karena materi pelajaran PKN dan Social disekolah sudah mencakup materi seperti itu. Jadi para parents kita bisa menghentikan gaya hidup konsumtif dengan mencegah anak- anak termindset konsumtif. Kitalah yang memasukkan informasi ke mindset anak, untuk itu mulailah bergaya hidup yang jujur untuk menyesuaikan dengan standar diri kita bukan mengutamakan standar umum.

Make Your Husband Respect To You


Pesan orang tua : Make your husband respect to you, intinya peran perempuan harus seimbang dng laki2 di rmh tangga. Caranya gmn? Bantu dia melewati kesulitan hidup dengan berjuang bersama, bantu angkat bebannya dengan mendampingi dia, jadi teman diskusi yg baik dng menjadi sahabatnya, manjakan dirinya dng melayaninya sebaik mungkin, bantu ia menopang perekonomian keluarga dng kita turut menghasilkan, jadi mentornya disaat ia butuh masukan dan pendapat, dan jadilah orang yang membuatnya percaya bahwa segala apapun yg terjadi kita akan setia dan tetap menyemangatinya. Jangan sekali2 membiarkannya sendiri bergulat dng kesulitan hidup dan kita tidak ambil bagian sama sekali membantunya. Selamat Hari Kamis para Istri2 hebat!

Itu status facebook saya hari ini, kenapa saya menulis ini?
Awalnya emang terkenang aja sama ajaran orang tua tentang hal itu, terutama mama dan eyang saya yang rajin ngasih wejangan bagaimana jadi istri yang bener.Mindset ini saya lihat juga mulai bergeser di kehidupan sekarang, entah karena banyak orang memaknainya salah atau memang sudah begitu bedanya pola pikir orang sekarang.

Saya teringat pada seorang teman yang bisa menikmati hidup dengan berjauhan dengan suaminya, padahal suaminya kerja di kota yang sangat memungkinkan untuk membawa istrinya, alasan si istri tidak mau ikut adalah karena istrinya kesulitan karena tidak punya pembantu, jika ia dirumah orang tuanya ia merasa lebih nyaman karena ia bisa focus mengurus anaknya yang baru satu itu. Ada juga kisah teman yang memilih meningggalkan suaminya dan kembali ke rumah orang tua karena lebih nyaman di rumah orang tua yang masakannya lebih pas dilidah, dan ada yang menemani jika ia butuh teman. 
Ada juga banyak kejadian yang paling sering terjadi sekarang adalah maraknya para ibu rumah tangga yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk gaul diluar, dan pengurusan anak dan rumah  diserahkan ke PRT, alasannya sederhana aja, kita kan perempuan sudah kewajiban suami menafkahi kita.

Saya cuma agak kurang paham bagaimana ketika wanita- wanita itu minta pembenaran atas keputusannya itu kepada saya. Saya tidak diajarkan begitu dengan orang tua jadi enggak bisa bilang sepakat dengan langkah yang mereka ambil.
Saya teringat jaman orang tua saya dahulu, mama saya ikut pindah ke kota Lampung saat menikah, padahal mama hidup cukup nyaman di kota besar seperti Jakarta bersama eyang, mama papa saat itu pun judulnya nebeng di rumah nenek saya di Lampung. Sampai mama saya punya anak 4, belum pernah sekalipun mama saya meninggalkan papa saya sendiri melewati hidupnya. Susah senang mama saya jalani tanpa mengeluh. Saya pun melihat mama saya tetap bekerja mencari nafkah membantu papa, tapi mama enggak pernah ninggalin kewajiban masak dan ngebimbing anak2, mama saya taking care rumah tangganya dengan baik dari ada pembantu sampe enggak ada, mama saya tetap ibu yang baik dengan kemampuan financial yang independent.

Saya mentauladani itu, buat saya jika suami sibuk bekerja mencari nafkah, maka tugas kita adalah menjaga dan mengurus rumah tangganya dengan sebaik baiknya. Ini pola yang seimbang. Sangat tidak bertanggungjawab jika kita mengikat suami dlm sebuah ikatan pernikahan dan ia berkewajiaban menafkahi kita namun kita tak mau menjalani peran untuk mendampinginya. Kita para wanita bisa bilang bahwa lelaki itu tidak bertanggungjawab jika tidak menafkahi istri, lantas apa tudingan bagi istri yang tidak mau menjalani kewajibannya sebagai istri dan memilih kehidupan yang lebih nyaman daripada disamping suaminya? 

Intinya saya menulis ini saya ingin kembali mengingatkan bagi seluruh perempuan pembaca blog saya bahwa sebagai perempuan, kita harus kenal peran kita, jika kita kenal peran kita, bertanggungjawablah disana, jangan pernah merasa baik-baik saja dengan bersantai santai sementara suami kita berjuang keras menghidupi kita. 
Ini fair play sebenernya, karena setiap lelaki akan merasa tersanjung jika perempuannya ikut merasakan kesulitannya dengan ikut berjuang bersama. Lelaki akan jauh lebih respect pada istri2 yang semaksimal mungkin menjalani perannya (papun yang dipilih untuk jadi ibu rumah tangga ataupun ibu bekerja) seperti  mereka yang semaksimal mungkin menjalani perannya dengan baik seperti sebagai pencari nafkah.
Insyallah kalo niatnya mulia pasti Allah memudahkan.

Tuesday, October 8, 2013

Ibu Bekerja VS Ibu Rumah Tangga


Saya adalah salah seorang ibu bekerja , kadang banyak orang yang bolak balik tanya ke saya, kenapa saya harus kerja? Apa suami saya kurang mencukupi? apa saya enggak sayang anak-anak saya?
Saya kadang malas untuk menjawab ini semua, karena menurut saya, itu privacy saya, gak perlu menjelaskan pada siapa2 tentang pilihan saya bekerja.

Namun melihat perkembangan saya sekarang, mungkin orang melihat suami saya makin mengembangkan kariernya, saya pun terkesan memiliki kesibukan kerja yang tidak sederhana, makin banyak orang yang mungkin merasa iba melihat anak2 saya, terkesan saya dan suami asik bekerja dan anak2 pun terlantar.

Sebenarnya apa yang terjadi, apakah benar anak anak terlantar karena karier saya khususnya?
Saya merasa semua masih tertangani dengan baik, kesehatan anak2 saya cukup baik , attitude anak2 pun begitu, serta nilai akademik Lulla sejak keals 1 selalu rata2 9. Saya merasa masih biasa saja, tapi sulit menjelaskan hal ini kepada orang lain, saya nanti terkesan pamer dan sombong, tapi enggak begitu sebenarnya, saya hanya ingin menjelaskan.

Ini sample saja ya, saya memang karier, saya pergi pagi setiap hari sekalian antar anak sekolah, saya pulang sore, biasanya sampai rumah pukul 6 paling lambat pukul 7. Setelah itu saya sempatkan makan malam bersama anak2, lalu main sebentar dan dilanjutkan dengan belajar sama Lulla sambil membiarkan Berry main didekat kami. Belajar paling lama dalam satu malam paling 2 jam kurang sampai pukul 9.30. Lalu saya masih sempatkan mengajak anak saya solat Isya dan menggantikan anak2 piyama dan mengantarkan mereka tidur. 

Sebelum tidur jika Berry tidak rewel saya sering berdiskusi dengan Lulla, anak seusianya sudah tidak terlalu tertarik dibacakan buku apalagi dongeng. Saya cenderung menceritakan apa yang saya temui tadi di kantor. Profesi saya yang membuat saya menjadi counselor masalah orang, kadang memberi wawasan baru bagi anak saya. Saya cenderung berbagi kisah perjalanan hidup  maupun masalah ‘pasien’ saya pada Lulla.
Saya pun sebagai ibu bekerja, paham betul bahwa saya jarang memiliki waktu untuk sekedar menyuapi anak2, karena saya hanya bertemu mereka saat sarapan dan makan malam.Tapi sekalinya saya bisa, maka saya upayakan kegiatan makan bersama saya adalah hal yang cukup seru, karena setiap saya ada waktu mereka akan saya masakkan masakan terenak yang mampu saya buat, yang insyallah mereka pun suka.
Sampai detik ini, untuk urusan makanan anak2, saya lah yang berbelanja sendiri, saya tau betul apa yang anak2 konsumsi, karena sayalah yang belanja untuk itu, bukan saya delegasikan ke pembantu saya.
Setiap hari lebaran saya sendiri yang memasak masakan lebaran, saya pula yang menghias meja makan dan rumah. Sengaja saya lakukan itu, karena saya sedang membentuk sebuah budaya di rumah, bahwa sudah jadi budaya kami dirumah bahwa hari lebaran adalah hari yang semarak, karena rumah tampak berbeda dan masakan pun jadi special, semua itu akan dirindukan anak2 saya kelak.

Disaat sibuk saya, saya betul2 selektif memilih event2 yang dapat saya hadiri dan tidak, saya cenderung menggeser kehadiran yang sifatnya kongkow kongkow belaka, terutama jika undangannya di malam hari sekolah, saya memilih untuk segera pulang dan menjalani rutinitas saya seperti biasa. Saya tidk terpaksa menjalaninya, saya cenderung merasa ada yang salah jika harus membiarkan anak2 di rumah tanpa pengawasan saya di malam hari yang esoknya sekolah.
Jarak rumah saya dan kantor tidak terlalu jauh, namun kemacetan jua lah yang bikin saya bisa satu jam lebih dijalan, saya pun menyiasatinya dengan menghindari naik kendaraan mobil pribadi, saya cenderung memilih commuterline.Banyak yang tanya apa enggak penuh sesak tuh? Kan lebih enak naik mobil pribadi, disupirin pula? Jawaban saya sederhana saja, bahwa itu tidak menjawab kebutuhan saya untuk lebih cepat sampe rumah,. Maka urusan penuh sesak atau apaun saya kesampingkan, terpenting saya bisa menghemat waktu saya dan bisa segera berjumpa anak2 di rumah.

Lalu mengenai quality time, saya sadar betul betapa banyak keluarga muda dari kalangan menengah saat ini jauh lebih sering membawa anak2 mereka mengunjungi mall untuk rekreasi dan mereka merasa kebersamaan keluarga kecil mengunjungi mall adalah salah satu wujud menciptakan quality time. Saya pribadi bagaimana? Saya gak terlalu setuju, saya begah melihat banyaknya mall di Jakarta, saya pun lelah melihat gaya konsumerisme orang sekarang yang rela antri hanya untuk belanja pakaian brand yang sedang sale. Saya cenderung memilih membawa anak2 berwisata outdoor, meski cuma ke UI atau ke Kebun Raya Bogor sekalipun. Anak2 saya didik bahwa jika harus ke mall kita harus punya tujuan jelas, mau makan atau tidak memang mau membeli sebuah keperluan. Jangan sampai anak2 menginjak mall tanpa guidance yang jelas, kita mau apa kesini atau sekedar window shopping belaka, hal semacam itu memancing sifat konsumerisme, anak yg mungkin niat awalnya gak pengen apa2 bisa merengek minta belikan sesuatu yang mungkin tidak ia butuhkan. Itu mungkin banget terjadi, control diri anak2  mungkin tidak sebaik kita orang dewasa yang mungkin lebih bisa memilah apa yang perlu dan apa yang butuh. Dan waktu di mall pun gak akan membuat kita fokus membuat komunikasi yang intens dengan anak2 karena terlalu banyak orang lalu lalang dan suara yang bising di mall.

Saya pun merasa, secara etika anak2 saya saat ini masih dalam tataran santun dan penuh dengan etika, ini bukan hal sepele loh, butuh perjuangan karena anak2 sebelum tidur rajin kami ajak diskusi, terutama saya yang lebih banyak dirumah ketimbang suami. Saya pernah takjub melihat perubahan Lulla hanya dari sebuah diskusi. Ia yang biasanya sering bersikap semberono dan kurang bertanggungjawab pada benda2 miliknya, sekarang jauh lebih hati-hati dan bisa menghargai apa2 yang kami beli dengan uang. Itu hanya bermula dari inisiatif saya mengajaknya kesebuah pasar malam buat kalangan bawah, saya suruh dia membeli kaos kaki di pedagang emperan. Sepulang di rumah, saya mengajak diskusi, berapa omset penjual kaos kaki itu dalam semalam, dia yang mulai paham tentang perkalian mulai mengkali-kalikan, lalu saya ajak dia mengurangi biaya2 yang harus dikeluarkan oleh pedagang itu seperti transportasi, listrik dan sewa lapak, ia tercengang menyadari bahwa omset pedagang itu kecil sekali bahkan tidak layak untuk hidup. Disitu saya masukkan nilai betapa kita yang jauh lbh mapan harus jauh lebih bersyukur dan memahami arti sulitnya mencari uang.

Saya pun kerap mengajarkan kepada Lulla betapa pentingnya untuk memahami sulitnya orang tua sehari- hari untuk memeperjuangkan hidup. Sekali waktu saya pernah mengajak dia naik commuterline di jam sepulang kerja, dia tercengang luar biasa melihat begitu orang berdesakan untuk pulang ke rumah. Dan saya katakan, mama tiap hari seperti itu, demi cepat sampai rumah dan ingin kamu lebih banyak waktu belajar sama mama. Hasilnya sangat terasa dia yang selalu sulit diajak belajar, mulai berubah, mulai merasa segan jika malas- malasan, karena mungkin dia paham, bahwa bagi ibunya untuk bisa mengajaknya belajar butuh pengorbanan yang luar biasa.

Saya menulis ini bukan buat show off, tapi saya menulis ini untuk menggambarkan, bahwa bagi para sebagaian ibu yang memilih untuk bekerja, mereka punya tujuan, mereka mungkin tidak memiliki pilihan untuk hidup tenang dirumah bersama anak2nya. Banyak jutaan ibu berjuang dengan memilih menjadi ibu bekerja untuk memperoleh biaya tambahan demi anak2nya, dan kita tidak boleh judging bahwa ibu2 itu bukan ibu yang baik. Dan bagi ibu2 yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga yang lebih banyak ada waktu untuk anak2nya itu pula pilihan. Jangan sekalipun mengecilkan seolah ibu yang bekerja itu bukan ibu yang bertanggungjawab atau ibu- ibu yang patut dikategorikan sebagai ibu yang gak baik.

                                                      Saya dan anak2 di commuterline

Ada banyak kasus kok ibu rumah tangga yang justru asik sendiri dengan dunianya yang mungkin bahkan memasukkan nilai2 yang gak baik dengan kebanyakan menghabiskan waktu kongkow dengan teman maupun tour ke mall menghamburkan uang suami daripada menjalankan kewajibannya sebagai ibu dan istri yang baik. Ada pula ibu bekerja yang hanya sibuk mencari materi lantas merasa tidak perlu membangun kedekatan dengan anak karena sudah merasa cukup dengan mengirimkan anak ke berbagai les. Tapi ada pula kok ibu bekerja yang mati matian bekorban untuk tetap seimbang mengatur waktu untuk mendidik dan mendampingi anaknya walaupun harus pakai cara ‘akrobat’ sekalipun.

Intinya semua ibu memiliki perjuangannya sendiri sendiri,tidak ada yang salah jika memilih menjadi ibu bekerja atau ibu rumah tangga, yang salah adalah jika ada ibu2 yang memilih untuk tidak berjuang apa2 demi anak2nya. Jadi bagi saya,ini bukan mengenai lebih baik mana atau lebih mulia mana ibu bekerja atau ibu rumah tangga, karena semua  ibu adalah  luar biasa sepanjang mereka menjalankan peran sebagai ibu dan istri yang baik dan  berjuang untuk anaknya dan rumah tangganya, entah bagaimana dan apa perjuangannya itu.
Selamat berjuang para ibu, apapun profesi mu J