Saya adalah salah seorang ibu
bekerja , kadang banyak orang yang bolak balik tanya ke saya, kenapa saya harus
kerja? Apa suami saya kurang mencukupi? apa saya enggak sayang anak-anak saya?
Saya kadang malas untuk menjawab
ini semua, karena menurut saya, itu privacy saya, gak perlu menjelaskan pada
siapa2 tentang pilihan saya bekerja.
Namun melihat perkembangan saya
sekarang, mungkin orang melihat suami saya makin mengembangkan kariernya, saya
pun terkesan memiliki kesibukan kerja yang tidak sederhana, makin banyak orang yang
mungkin merasa iba melihat anak2 saya, terkesan saya dan suami asik bekerja dan
anak2 pun terlantar.
Sebenarnya apa yang terjadi,
apakah benar anak anak terlantar karena karier saya khususnya?
Saya merasa semua masih
tertangani dengan baik, kesehatan anak2 saya cukup baik , attitude anak2 pun
begitu, serta nilai akademik Lulla sejak keals 1 selalu rata2 9. Saya merasa
masih biasa saja, tapi sulit menjelaskan hal ini kepada orang lain, saya nanti
terkesan pamer dan sombong, tapi enggak begitu sebenarnya, saya hanya ingin menjelaskan.
Ini sample saja ya, saya memang karier, saya pergi pagi setiap hari sekalian
antar anak sekolah, saya pulang sore, biasanya sampai rumah pukul 6 paling
lambat pukul 7. Setelah itu saya sempatkan makan malam bersama anak2, lalu main
sebentar dan dilanjutkan dengan belajar sama Lulla sambil membiarkan Berry main
didekat kami. Belajar paling lama dalam satu malam paling 2 jam kurang sampai
pukul 9.30. Lalu saya masih sempatkan mengajak anak saya solat Isya dan
menggantikan anak2 piyama dan mengantarkan mereka tidur.
Sebelum tidur jika Berry tidak rewel saya sering berdiskusi dengan
Lulla, anak seusianya sudah tidak terlalu tertarik dibacakan buku apalagi
dongeng. Saya cenderung menceritakan apa yang saya temui tadi di kantor.
Profesi saya yang membuat saya menjadi counselor masalah orang, kadang memberi wawasan
baru bagi anak saya. Saya cenderung berbagi kisah perjalanan hidup maupun masalah ‘pasien’ saya pada Lulla.
Saya pun sebagai ibu bekerja,
paham betul bahwa saya jarang memiliki waktu untuk sekedar menyuapi anak2,
karena saya hanya bertemu mereka saat sarapan dan makan malam.Tapi sekalinya
saya bisa, maka saya upayakan kegiatan makan bersama saya adalah hal yang cukup
seru, karena setiap saya ada waktu mereka akan saya masakkan masakan terenak
yang mampu saya buat, yang insyallah mereka pun suka.
Sampai detik ini, untuk urusan
makanan anak2, saya lah yang berbelanja sendiri, saya tau betul apa yang anak2
konsumsi, karena sayalah yang belanja untuk itu, bukan saya delegasikan ke pembantu
saya.
Setiap hari lebaran saya sendiri
yang memasak masakan lebaran, saya pula yang menghias meja makan dan rumah.
Sengaja saya lakukan itu, karena saya sedang membentuk sebuah budaya di rumah,
bahwa sudah jadi budaya kami dirumah bahwa hari lebaran adalah hari yang semarak,
karena rumah tampak berbeda dan masakan pun jadi special, semua itu akan
dirindukan anak2 saya kelak.
Disaat sibuk saya, saya betul2
selektif memilih event2 yang dapat saya hadiri dan tidak, saya cenderung
menggeser kehadiran yang sifatnya kongkow kongkow belaka, terutama jika
undangannya di malam hari sekolah, saya memilih untuk segera pulang dan
menjalani rutinitas saya seperti biasa. Saya tidk terpaksa menjalaninya, saya
cenderung merasa ada yang salah jika harus membiarkan anak2 di rumah tanpa
pengawasan saya di malam hari yang esoknya sekolah.
Jarak rumah saya dan kantor tidak
terlalu jauh, namun kemacetan jua lah yang bikin saya bisa satu jam lebih dijalan,
saya pun menyiasatinya dengan menghindari naik kendaraan mobil pribadi, saya
cenderung memilih commuterline.Banyak yang tanya apa enggak penuh sesak tuh? Kan
lebih enak naik mobil pribadi, disupirin pula? Jawaban saya sederhana saja,
bahwa itu tidak menjawab kebutuhan saya untuk lebih cepat sampe rumah,. Maka
urusan penuh sesak atau apaun saya kesampingkan, terpenting saya bisa menghemat
waktu saya dan bisa segera berjumpa anak2 di rumah.
Lalu mengenai quality time, saya
sadar betul betapa banyak keluarga muda dari kalangan menengah saat ini jauh
lebih sering membawa anak2 mereka mengunjungi mall untuk rekreasi dan mereka
merasa kebersamaan keluarga kecil mengunjungi mall adalah salah satu wujud
menciptakan quality time. Saya pribadi bagaimana? Saya gak terlalu setuju, saya
begah melihat banyaknya mall di Jakarta, saya pun lelah melihat gaya
konsumerisme orang sekarang yang rela antri hanya untuk belanja pakaian brand
yang sedang sale. Saya cenderung memilih membawa anak2 berwisata outdoor, meski
cuma ke UI atau ke Kebun Raya Bogor sekalipun. Anak2 saya didik bahwa jika
harus ke mall kita harus punya tujuan jelas, mau makan atau tidak memang mau
membeli sebuah keperluan. Jangan sampai anak2 menginjak mall tanpa guidance
yang jelas, kita mau apa kesini atau sekedar window shopping belaka, hal
semacam itu memancing sifat konsumerisme, anak yg mungkin niat awalnya gak
pengen apa2 bisa merengek minta belikan sesuatu yang mungkin tidak ia butuhkan.
Itu mungkin banget terjadi, control diri anak2 mungkin tidak sebaik kita orang dewasa yang
mungkin lebih bisa memilah apa yang perlu dan apa yang butuh. Dan waktu di mall pun gak akan membuat kita fokus membuat komunikasi yang intens dengan anak2 karena terlalu banyak orang lalu lalang dan suara yang bising di mall.
Saya pun merasa, secara etika
anak2 saya saat ini masih dalam tataran santun dan penuh dengan etika, ini bukan hal sepele loh, butuh
perjuangan karena anak2 sebelum tidur rajin kami ajak diskusi, terutama saya
yang lebih banyak dirumah ketimbang suami. Saya pernah takjub melihat perubahan
Lulla hanya dari sebuah diskusi. Ia yang biasanya sering bersikap semberono dan
kurang bertanggungjawab pada benda2 miliknya, sekarang jauh lebih hati-hati dan
bisa menghargai apa2 yang kami beli dengan uang. Itu hanya bermula dari
inisiatif saya mengajaknya kesebuah pasar malam buat kalangan bawah, saya suruh
dia membeli kaos kaki di pedagang emperan. Sepulang di rumah, saya mengajak
diskusi, berapa omset penjual kaos kaki itu dalam semalam, dia yang mulai paham
tentang perkalian mulai mengkali-kalikan, lalu saya ajak dia mengurangi biaya2
yang harus dikeluarkan oleh pedagang itu seperti transportasi, listrik dan sewa
lapak, ia tercengang menyadari bahwa omset pedagang itu kecil sekali bahkan
tidak layak untuk hidup. Disitu saya masukkan nilai betapa kita yang jauh lbh
mapan harus jauh lebih bersyukur dan memahami arti sulitnya mencari uang.
Saya pun kerap mengajarkan kepada
Lulla betapa pentingnya untuk memahami sulitnya orang tua sehari- hari untuk
memeperjuangkan hidup. Sekali waktu saya pernah mengajak dia naik commuterline
di jam sepulang kerja, dia tercengang luar biasa melihat begitu orang
berdesakan untuk pulang ke rumah. Dan saya katakan, mama tiap hari seperti itu,
demi cepat sampai rumah dan ingin kamu lebih banyak waktu belajar sama mama.
Hasilnya sangat terasa dia yang selalu sulit diajak belajar, mulai berubah,
mulai merasa segan jika malas- malasan, karena mungkin dia paham, bahwa bagi
ibunya untuk bisa mengajaknya belajar butuh pengorbanan yang luar biasa.
Saya menulis ini bukan buat show
off, tapi saya menulis ini untuk menggambarkan, bahwa bagi para sebagaian ibu
yang memilih untuk bekerja, mereka punya tujuan, mereka mungkin tidak memiliki
pilihan untuk hidup tenang dirumah bersama anak2nya. Banyak jutaan ibu berjuang
dengan memilih menjadi ibu bekerja untuk memperoleh biaya tambahan demi
anak2nya, dan kita tidak boleh judging bahwa ibu2 itu bukan ibu yang baik. Dan bagi
ibu2 yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga yang lebih banyak ada waktu untuk
anak2nya itu pula pilihan. Jangan sekalipun mengecilkan seolah ibu yang bekerja
itu bukan ibu yang bertanggungjawab atau ibu- ibu yang patut dikategorikan
sebagai ibu yang gak baik.
Saya dan anak2 di commuterline
Ada banyak kasus kok ibu rumah
tangga yang justru asik sendiri dengan dunianya yang mungkin bahkan memasukkan
nilai2 yang gak baik dengan kebanyakan menghabiskan waktu kongkow dengan teman
maupun tour ke mall menghamburkan uang suami daripada menjalankan kewajibannya
sebagai ibu dan istri yang baik. Ada pula ibu bekerja yang hanya sibuk mencari
materi lantas merasa tidak perlu membangun kedekatan dengan anak karena sudah
merasa cukup dengan mengirimkan anak ke berbagai les. Tapi ada pula kok ibu
bekerja yang mati matian bekorban untuk tetap seimbang mengatur waktu untuk mendidik
dan mendampingi anaknya walaupun harus pakai cara ‘akrobat’ sekalipun.
Intinya semua ibu memiliki
perjuangannya sendiri sendiri,tidak ada yang salah jika memilih menjadi ibu bekerja
atau ibu rumah tangga, yang salah adalah jika ada ibu2 yang memilih untuk tidak
berjuang apa2 demi anak2nya. Jadi bagi saya,ini bukan mengenai lebih baik mana atau
lebih mulia mana ibu bekerja atau ibu rumah tangga, karena semua ibu adalah luar biasa sepanjang mereka menjalankan peran
sebagai ibu dan istri yang baik dan berjuang untuk anaknya dan rumah tangganya,
entah bagaimana dan apa perjuangannya itu.
Selamat berjuang para ibu, apapun
profesi mu J
1 comment:
Mohon maaf diluar topik Bunda, kami sedang mencari Reseller & Dropshipper Pakaian Bayi dan Anak
Kami menawarkan berbagai produk dengan harga sangat sangat bersaing.
Silahkan Bunda kunjungi Online Shop Baju Bayi dan Anak kami di:
web: bajubajubayi.blogspot.com
facebook : Baju Baju Bayi
Post a Comment