Pages

Thursday, October 24, 2013

Konsumtifnya anak sekarang

Pekan lalu saya dapet undangan seperti biasa di sebuah universitas untuk memberikan materi pengembangan diri disebuah seminar buat mahasiswa yang baru lulus. Sejak 2 tahun lalu saya menapaki hobby baru berupa menjadi trainer dan motivator bagi anak- anak muda, untuk sementara belum komersil yang gimana, tapi hanya sekedar membagi Ilmu dan hobby belaka.
Saat itu saya mendapat ‘jatah’ untuk memberi materi tentang integritas. Secara pribadi saya sedikit banyak miris melihat perkembangan anak sekarang. Saat saya Tanya kepada audience siapa pemakai Handphone Galaxi S IV? Siapa pengguna Iphone 5 ? wah audience saya yang berusia belasan tahun itu banyak yang antusias menunjuk. Namun ketika saya tanya, coba siapa disini yang sudah bekerja dan berpenghasilan diatas 4 juta? Tidak ada yang menunjuk tangan. Segera saya guyoni anak2 itu, wah kalo begitu kalian lebih besar pasak dari pada tiang, gaya oke kantong enggak oke, gerrrrr… seisi ruangan tertawa geli bercampur malu.

Sebenernya ini masalah simbol2 pergaulan yang sekarang ini begitu kuat melekat dimindset orang, bahwa untuk dianggap sukses itu orang harus ber outlook keren dan update, tapi masalah kekuatan financial sebenarnya cenderung memilih untuk fatamorgana saja.
Baru- baru ini ada pembukaan sebuah butik brand baju casual ternama tentunya brand impor ya, waduuuh orang- orang seperti kalap, masa iya ada yang mendatangi mall dari jam 5 pagi dan itu pun dia bukan antrian pertama.
Ini bukan kali pertama loh orang di Jakarta bisa spt kehilangan akal dengan rela antri berjam jam gak jelas untuk hal yang intinya belanja barang. 

Sebenernya apa yang terjadi kenapa masyarakat sekarang begitu konsumtif?
Ya kalo menurut saya, orang sekarang hidup dengan standar umum, gak pernah bertanya dengan jujur kepada hatinya, apakah standar umum suitable untuk saya? 

Contoh, beli baju brand pake ngantri 4 jam, dengan alasan model simple dan bahan enak. Apakah beli di ITC gak ada yang model simple dan bahan enak? Apakah model baju di ITC sejauh itu trendy nya dibawah brand yang kalo kita mau beli maksa harga murah kudu antri 4 jam? Kan enggak juga. Kalo kita mikir realistis dan gak mentingin merk pasti kita akan milih beli baju murah, enak dipakai, cukup trendy dan sopan tanpa harus seperti orang kalap, gak peduli merk apa.
Atau sekarang lagi orang pakai kendraaan roda emapt kadang bukan lagi di fungsi tapi lebih pada prestige. Akhirnya gak peduli investasi yang dimiliki cukup menjamin hidupnya apa enggak, pokoknya pake mobil keren, mahal dan update, padahal masih utang.


Saya lihat orang mementingkan apa apa yang sifatnya lahiriah belaka, kesadaran ini harus kita hentikan dengan menghentikan kebiasaan menanamkan sifat2 konsumtif pada anak.
Langkah awal yang sederhana, biasakan anak memilih barang karena butuh bukan karena ingin. Tunjukkan kepada anak kebiasaan memilih barang bukan karena brand tapi karena kenyamanan. Biasakan anak melihat orang tua mengejar pengembangan kapasitas bukan hanya pengembangan materi.
Biasakan anak melihat segala sesuatu dari factor ekonomis dan tidaknya sebuah pilihan.
Bisakah kita membiasakan untuk refreshing dengan tidak melakukan aktifitas yang memancing kita untuk berbelanja?
Dan terpenting, sudahkan kita mengajarkan pada anak perjuangan hidup?
 Apakah kita sudah melatih mereka menghargai uang?

Untuk case terakhir ini saya pernah mencoba Lulla untuk belajar tentang sulitnya mencari uang, ia saya ajak ke sebuah pasar malam yang banyak pedagang. Ia saya berikan uang dua puluh ribu lalu kami pergi makan bubur kacang ijo, saya meminta ia membayar dari uang tersebut, sisanya saya suruh ia membeli barang yang ia butuhkan, saat itu ia memilih membeli kaos kaki. Sesampai di rumah ia saya ajarkan menghitung berapa kisaran pendapatan pedagang bubur dan pedagang kaos kaki tadi. Ia mulai mengerti perkalian dan tambah dan kurang, ia saya minta mengambil kertas dan pensil, saya meng-guidance nya untuk menghitung, lalu keluarlah angka margin penjualan dan modal. Disitu saya bilang itulah yang para penjual itu bawa pulang untuk hidup sehari- hari. Ia terperangah kaget melihat begitu kecilnya angka pendapatan para pedagang. Disitu nilai- nilai saya masukkan, bahwa hidup itu sulit, cari uang apalagi, jadi jangan manja dan jangan konsumtif, hidup harus di planning dengan benar. 

Bagi sebagian orang mungkin bertanya, seorang anak kelas 3 SD apa bisa mencerna penjelasan saya. Saya yakin mengerti karena materi pelajaran PKN dan Social disekolah sudah mencakup materi seperti itu. Jadi para parents kita bisa menghentikan gaya hidup konsumtif dengan mencegah anak- anak termindset konsumtif. Kitalah yang memasukkan informasi ke mindset anak, untuk itu mulailah bergaya hidup yang jujur untuk menyesuaikan dengan standar diri kita bukan mengutamakan standar umum.

Make Your Husband Respect To You


Pesan orang tua : Make your husband respect to you, intinya peran perempuan harus seimbang dng laki2 di rmh tangga. Caranya gmn? Bantu dia melewati kesulitan hidup dengan berjuang bersama, bantu angkat bebannya dengan mendampingi dia, jadi teman diskusi yg baik dng menjadi sahabatnya, manjakan dirinya dng melayaninya sebaik mungkin, bantu ia menopang perekonomian keluarga dng kita turut menghasilkan, jadi mentornya disaat ia butuh masukan dan pendapat, dan jadilah orang yang membuatnya percaya bahwa segala apapun yg terjadi kita akan setia dan tetap menyemangatinya. Jangan sekali2 membiarkannya sendiri bergulat dng kesulitan hidup dan kita tidak ambil bagian sama sekali membantunya. Selamat Hari Kamis para Istri2 hebat!

Itu status facebook saya hari ini, kenapa saya menulis ini?
Awalnya emang terkenang aja sama ajaran orang tua tentang hal itu, terutama mama dan eyang saya yang rajin ngasih wejangan bagaimana jadi istri yang bener.Mindset ini saya lihat juga mulai bergeser di kehidupan sekarang, entah karena banyak orang memaknainya salah atau memang sudah begitu bedanya pola pikir orang sekarang.

Saya teringat pada seorang teman yang bisa menikmati hidup dengan berjauhan dengan suaminya, padahal suaminya kerja di kota yang sangat memungkinkan untuk membawa istrinya, alasan si istri tidak mau ikut adalah karena istrinya kesulitan karena tidak punya pembantu, jika ia dirumah orang tuanya ia merasa lebih nyaman karena ia bisa focus mengurus anaknya yang baru satu itu. Ada juga kisah teman yang memilih meningggalkan suaminya dan kembali ke rumah orang tua karena lebih nyaman di rumah orang tua yang masakannya lebih pas dilidah, dan ada yang menemani jika ia butuh teman. 
Ada juga banyak kejadian yang paling sering terjadi sekarang adalah maraknya para ibu rumah tangga yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk gaul diluar, dan pengurusan anak dan rumah  diserahkan ke PRT, alasannya sederhana aja, kita kan perempuan sudah kewajiban suami menafkahi kita.

Saya cuma agak kurang paham bagaimana ketika wanita- wanita itu minta pembenaran atas keputusannya itu kepada saya. Saya tidak diajarkan begitu dengan orang tua jadi enggak bisa bilang sepakat dengan langkah yang mereka ambil.
Saya teringat jaman orang tua saya dahulu, mama saya ikut pindah ke kota Lampung saat menikah, padahal mama hidup cukup nyaman di kota besar seperti Jakarta bersama eyang, mama papa saat itu pun judulnya nebeng di rumah nenek saya di Lampung. Sampai mama saya punya anak 4, belum pernah sekalipun mama saya meninggalkan papa saya sendiri melewati hidupnya. Susah senang mama saya jalani tanpa mengeluh. Saya pun melihat mama saya tetap bekerja mencari nafkah membantu papa, tapi mama enggak pernah ninggalin kewajiban masak dan ngebimbing anak2, mama saya taking care rumah tangganya dengan baik dari ada pembantu sampe enggak ada, mama saya tetap ibu yang baik dengan kemampuan financial yang independent.

Saya mentauladani itu, buat saya jika suami sibuk bekerja mencari nafkah, maka tugas kita adalah menjaga dan mengurus rumah tangganya dengan sebaik baiknya. Ini pola yang seimbang. Sangat tidak bertanggungjawab jika kita mengikat suami dlm sebuah ikatan pernikahan dan ia berkewajiaban menafkahi kita namun kita tak mau menjalani peran untuk mendampinginya. Kita para wanita bisa bilang bahwa lelaki itu tidak bertanggungjawab jika tidak menafkahi istri, lantas apa tudingan bagi istri yang tidak mau menjalani kewajibannya sebagai istri dan memilih kehidupan yang lebih nyaman daripada disamping suaminya? 

Intinya saya menulis ini saya ingin kembali mengingatkan bagi seluruh perempuan pembaca blog saya bahwa sebagai perempuan, kita harus kenal peran kita, jika kita kenal peran kita, bertanggungjawablah disana, jangan pernah merasa baik-baik saja dengan bersantai santai sementara suami kita berjuang keras menghidupi kita. 
Ini fair play sebenernya, karena setiap lelaki akan merasa tersanjung jika perempuannya ikut merasakan kesulitannya dengan ikut berjuang bersama. Lelaki akan jauh lebih respect pada istri2 yang semaksimal mungkin menjalani perannya (papun yang dipilih untuk jadi ibu rumah tangga ataupun ibu bekerja) seperti  mereka yang semaksimal mungkin menjalani perannya dengan baik seperti sebagai pencari nafkah.
Insyallah kalo niatnya mulia pasti Allah memudahkan.

Tuesday, October 8, 2013

Ibu Bekerja VS Ibu Rumah Tangga


Saya adalah salah seorang ibu bekerja , kadang banyak orang yang bolak balik tanya ke saya, kenapa saya harus kerja? Apa suami saya kurang mencukupi? apa saya enggak sayang anak-anak saya?
Saya kadang malas untuk menjawab ini semua, karena menurut saya, itu privacy saya, gak perlu menjelaskan pada siapa2 tentang pilihan saya bekerja.

Namun melihat perkembangan saya sekarang, mungkin orang melihat suami saya makin mengembangkan kariernya, saya pun terkesan memiliki kesibukan kerja yang tidak sederhana, makin banyak orang yang mungkin merasa iba melihat anak2 saya, terkesan saya dan suami asik bekerja dan anak2 pun terlantar.

Sebenarnya apa yang terjadi, apakah benar anak anak terlantar karena karier saya khususnya?
Saya merasa semua masih tertangani dengan baik, kesehatan anak2 saya cukup baik , attitude anak2 pun begitu, serta nilai akademik Lulla sejak keals 1 selalu rata2 9. Saya merasa masih biasa saja, tapi sulit menjelaskan hal ini kepada orang lain, saya nanti terkesan pamer dan sombong, tapi enggak begitu sebenarnya, saya hanya ingin menjelaskan.

Ini sample saja ya, saya memang karier, saya pergi pagi setiap hari sekalian antar anak sekolah, saya pulang sore, biasanya sampai rumah pukul 6 paling lambat pukul 7. Setelah itu saya sempatkan makan malam bersama anak2, lalu main sebentar dan dilanjutkan dengan belajar sama Lulla sambil membiarkan Berry main didekat kami. Belajar paling lama dalam satu malam paling 2 jam kurang sampai pukul 9.30. Lalu saya masih sempatkan mengajak anak saya solat Isya dan menggantikan anak2 piyama dan mengantarkan mereka tidur. 

Sebelum tidur jika Berry tidak rewel saya sering berdiskusi dengan Lulla, anak seusianya sudah tidak terlalu tertarik dibacakan buku apalagi dongeng. Saya cenderung menceritakan apa yang saya temui tadi di kantor. Profesi saya yang membuat saya menjadi counselor masalah orang, kadang memberi wawasan baru bagi anak saya. Saya cenderung berbagi kisah perjalanan hidup  maupun masalah ‘pasien’ saya pada Lulla.
Saya pun sebagai ibu bekerja, paham betul bahwa saya jarang memiliki waktu untuk sekedar menyuapi anak2, karena saya hanya bertemu mereka saat sarapan dan makan malam.Tapi sekalinya saya bisa, maka saya upayakan kegiatan makan bersama saya adalah hal yang cukup seru, karena setiap saya ada waktu mereka akan saya masakkan masakan terenak yang mampu saya buat, yang insyallah mereka pun suka.
Sampai detik ini, untuk urusan makanan anak2, saya lah yang berbelanja sendiri, saya tau betul apa yang anak2 konsumsi, karena sayalah yang belanja untuk itu, bukan saya delegasikan ke pembantu saya.
Setiap hari lebaran saya sendiri yang memasak masakan lebaran, saya pula yang menghias meja makan dan rumah. Sengaja saya lakukan itu, karena saya sedang membentuk sebuah budaya di rumah, bahwa sudah jadi budaya kami dirumah bahwa hari lebaran adalah hari yang semarak, karena rumah tampak berbeda dan masakan pun jadi special, semua itu akan dirindukan anak2 saya kelak.

Disaat sibuk saya, saya betul2 selektif memilih event2 yang dapat saya hadiri dan tidak, saya cenderung menggeser kehadiran yang sifatnya kongkow kongkow belaka, terutama jika undangannya di malam hari sekolah, saya memilih untuk segera pulang dan menjalani rutinitas saya seperti biasa. Saya tidk terpaksa menjalaninya, saya cenderung merasa ada yang salah jika harus membiarkan anak2 di rumah tanpa pengawasan saya di malam hari yang esoknya sekolah.
Jarak rumah saya dan kantor tidak terlalu jauh, namun kemacetan jua lah yang bikin saya bisa satu jam lebih dijalan, saya pun menyiasatinya dengan menghindari naik kendaraan mobil pribadi, saya cenderung memilih commuterline.Banyak yang tanya apa enggak penuh sesak tuh? Kan lebih enak naik mobil pribadi, disupirin pula? Jawaban saya sederhana saja, bahwa itu tidak menjawab kebutuhan saya untuk lebih cepat sampe rumah,. Maka urusan penuh sesak atau apaun saya kesampingkan, terpenting saya bisa menghemat waktu saya dan bisa segera berjumpa anak2 di rumah.

Lalu mengenai quality time, saya sadar betul betapa banyak keluarga muda dari kalangan menengah saat ini jauh lebih sering membawa anak2 mereka mengunjungi mall untuk rekreasi dan mereka merasa kebersamaan keluarga kecil mengunjungi mall adalah salah satu wujud menciptakan quality time. Saya pribadi bagaimana? Saya gak terlalu setuju, saya begah melihat banyaknya mall di Jakarta, saya pun lelah melihat gaya konsumerisme orang sekarang yang rela antri hanya untuk belanja pakaian brand yang sedang sale. Saya cenderung memilih membawa anak2 berwisata outdoor, meski cuma ke UI atau ke Kebun Raya Bogor sekalipun. Anak2 saya didik bahwa jika harus ke mall kita harus punya tujuan jelas, mau makan atau tidak memang mau membeli sebuah keperluan. Jangan sampai anak2 menginjak mall tanpa guidance yang jelas, kita mau apa kesini atau sekedar window shopping belaka, hal semacam itu memancing sifat konsumerisme, anak yg mungkin niat awalnya gak pengen apa2 bisa merengek minta belikan sesuatu yang mungkin tidak ia butuhkan. Itu mungkin banget terjadi, control diri anak2  mungkin tidak sebaik kita orang dewasa yang mungkin lebih bisa memilah apa yang perlu dan apa yang butuh. Dan waktu di mall pun gak akan membuat kita fokus membuat komunikasi yang intens dengan anak2 karena terlalu banyak orang lalu lalang dan suara yang bising di mall.

Saya pun merasa, secara etika anak2 saya saat ini masih dalam tataran santun dan penuh dengan etika, ini bukan hal sepele loh, butuh perjuangan karena anak2 sebelum tidur rajin kami ajak diskusi, terutama saya yang lebih banyak dirumah ketimbang suami. Saya pernah takjub melihat perubahan Lulla hanya dari sebuah diskusi. Ia yang biasanya sering bersikap semberono dan kurang bertanggungjawab pada benda2 miliknya, sekarang jauh lebih hati-hati dan bisa menghargai apa2 yang kami beli dengan uang. Itu hanya bermula dari inisiatif saya mengajaknya kesebuah pasar malam buat kalangan bawah, saya suruh dia membeli kaos kaki di pedagang emperan. Sepulang di rumah, saya mengajak diskusi, berapa omset penjual kaos kaki itu dalam semalam, dia yang mulai paham tentang perkalian mulai mengkali-kalikan, lalu saya ajak dia mengurangi biaya2 yang harus dikeluarkan oleh pedagang itu seperti transportasi, listrik dan sewa lapak, ia tercengang menyadari bahwa omset pedagang itu kecil sekali bahkan tidak layak untuk hidup. Disitu saya masukkan nilai betapa kita yang jauh lbh mapan harus jauh lebih bersyukur dan memahami arti sulitnya mencari uang.

Saya pun kerap mengajarkan kepada Lulla betapa pentingnya untuk memahami sulitnya orang tua sehari- hari untuk memeperjuangkan hidup. Sekali waktu saya pernah mengajak dia naik commuterline di jam sepulang kerja, dia tercengang luar biasa melihat begitu orang berdesakan untuk pulang ke rumah. Dan saya katakan, mama tiap hari seperti itu, demi cepat sampai rumah dan ingin kamu lebih banyak waktu belajar sama mama. Hasilnya sangat terasa dia yang selalu sulit diajak belajar, mulai berubah, mulai merasa segan jika malas- malasan, karena mungkin dia paham, bahwa bagi ibunya untuk bisa mengajaknya belajar butuh pengorbanan yang luar biasa.

Saya menulis ini bukan buat show off, tapi saya menulis ini untuk menggambarkan, bahwa bagi para sebagaian ibu yang memilih untuk bekerja, mereka punya tujuan, mereka mungkin tidak memiliki pilihan untuk hidup tenang dirumah bersama anak2nya. Banyak jutaan ibu berjuang dengan memilih menjadi ibu bekerja untuk memperoleh biaya tambahan demi anak2nya, dan kita tidak boleh judging bahwa ibu2 itu bukan ibu yang baik. Dan bagi ibu2 yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga yang lebih banyak ada waktu untuk anak2nya itu pula pilihan. Jangan sekalipun mengecilkan seolah ibu yang bekerja itu bukan ibu yang bertanggungjawab atau ibu- ibu yang patut dikategorikan sebagai ibu yang gak baik.

                                                      Saya dan anak2 di commuterline

Ada banyak kasus kok ibu rumah tangga yang justru asik sendiri dengan dunianya yang mungkin bahkan memasukkan nilai2 yang gak baik dengan kebanyakan menghabiskan waktu kongkow dengan teman maupun tour ke mall menghamburkan uang suami daripada menjalankan kewajibannya sebagai ibu dan istri yang baik. Ada pula ibu bekerja yang hanya sibuk mencari materi lantas merasa tidak perlu membangun kedekatan dengan anak karena sudah merasa cukup dengan mengirimkan anak ke berbagai les. Tapi ada pula kok ibu bekerja yang mati matian bekorban untuk tetap seimbang mengatur waktu untuk mendidik dan mendampingi anaknya walaupun harus pakai cara ‘akrobat’ sekalipun.

Intinya semua ibu memiliki perjuangannya sendiri sendiri,tidak ada yang salah jika memilih menjadi ibu bekerja atau ibu rumah tangga, yang salah adalah jika ada ibu2 yang memilih untuk tidak berjuang apa2 demi anak2nya. Jadi bagi saya,ini bukan mengenai lebih baik mana atau lebih mulia mana ibu bekerja atau ibu rumah tangga, karena semua  ibu adalah  luar biasa sepanjang mereka menjalankan peran sebagai ibu dan istri yang baik dan  berjuang untuk anaknya dan rumah tangganya, entah bagaimana dan apa perjuangannya itu.
Selamat berjuang para ibu, apapun profesi mu J