Dikantor saya saat ini, saya
bagaikan maminya anak2, sebagai HRD maka saya tempat karyawan konsultasi banyak
hal kadang terselip konsultasi percintaan mereka sekaligus. Mengingat karyawan
di kantor rata2 berusia muda yaitu sekitar 20 an awal sampai dengan 30an awal.
Sebenarnya saya tidak terpaut
jauh secara usia dari sebagian besar mereka, namun karena saya udah menikah
dalam hitungan tahun yg lumayan lama dan memiliki 2 anak, bahkan salah satu
anak saya hampir berusia 9 tahun. Maka saya terkesan jauh lebih banyak pengalaman
krn duluan terjun ngadepin kehidupan, dan lama2 trasa jarak usia seperti jauh
saja, hehehe
Pertanyaan yang paling banyak
muncul dikala para ‘pasien’ saya ini curhat adalah, pertanyaan bgmn saya
menjalani pernikahan di usiayang terbilang muda? Mereka semua tau bahwa saya adalah orang
yang menikah di usia yang cukup muda untuk ukuran orang sekarang, 23 tahun!
Seiring banyaknya pertanyaan itu,
saya kadang berfikir kebelakang, apakah ada sisi di diri saya yang hilang dengan
saya menikah muda?
Saya menikah satu tahun setelah
tahun kelulusan saya dari Hukum UI, 2004 silam. Teman seusia saya bahkan masih
banyak yang belum lulus kuliah. Saya di gank yang duluan menikah, padahal isi
gank saya ada 13 orang.
Saat itu banyak muncul
pertanyaan, kalau dari keluarga besar bahkan ada beberapa yang bener2
menyayangkan keputusan saya, alasannya sederhana saja, kasian sama saya yang
sudah susah payah kuliah di UI tapi blm sempet mengibarkan karier tinggi tinggi
tapi sudah keburu nikah. Artinya dalam mindset orang2 itu bahwa dng keputusan
saya menikah kurang dari setahun setelah lulus kuliah maka pupuslah kesempatan berkarier buat saya.
Bahkan ada lho beberapa tante yang merupakan keluarga saya yang
memiliki anak sebaya dengan saya nyeletuk : “duh kalo anak saya mah masih pengen
karier dulu, masih pengen seneng2 traveling kemana2 dulu, kalo sudah puas baru
lah menikah.”
Herannya saat itu saya tidak
terpengaruh pada komentar2 semacam itu. Saya seperti yakin aja bahwa saya
menikah muda saya tetap punya kesempatan berkarier dan saya masih bisa
menikmati traveling bahkan tetap punya kesempatan bermain dengan teman2.
Finally saya melangkah dengan
ringan kedalam pernikahan bahkan tidak menunda2 kehamilan, semua berjalan
mengalir saja, 10 bulan menikah lalu punya anak. Di awal pernikahan kami hidup
bukan dengan kondisi financial yang sudah mapan,kami tidak dibekali warisan
harta,rumah dan kendaraan tidak punya, saya dan husb sama2 berjuang di karier
kami masing2 untuk memenuhi basic need kami. Husb memilih berwiraswata, lalu
lanjut menekuni dengan profesi lawyernya dan saya memilih menekuni bidang HRD
dan bekerja di perusahaan milik orang lain.
Semua terasa berjalan wajar saja,
dng aktifitas saya sebagai wanita pekerja, saya secara tidak langsung saya tetap
memiliki kesempatan bergaul,punya sahabat- sahabat, bahkan sempat aktif di
beberapa komunitas. Seiring berjalannya waktu, financial beranjak baik, maka
kami pun tetap bisa menikmati travelling, bahkan kerap menyenangkan orang tua
dengan sering mengajak mereka turut serta diagenda travelling kami. Karier saya
juga berkembang sesuai harapan, kesempatan saya untuk mengembangkan kapasitas
saya pun tetap berjalan sesuai tahapannya.
Menjelang 1 dekade pernikahan kami, belakangan saya sering berfikir, kayaknya
pernikahan dini saya tidak merusak apapun dalam diri saya deh?malah menurut saya justru
sebaliknya, cukup mengakselerasi kedewasaan dan kemandirian saya. Saya bukan GR,
ini yang saya dapatkan dari komentar teman2 saya, mnrt mereka diusia 30an awal saya
sudah sangat independence dlm banyak hal.
Dan ternyata
ketakutan yang disampaikan oleh orang2 kepada saya saat saya dulu hendak
menikah itu terpatahkan semua. Kenapa bisa begitu ya?
Kalau saya menyimpulkan, faktor
terbesar adalah faktor siapa pendamping saya. Saya menikahi lelaki soleh yang
demokratis, posistif thingking dan optimis.
Banyangkan saja, ia mampu menerima
kekurangan saya dengan begitu legowo, menikahi wanita pecicilan diusianya yang
muda,tentu jauh belum bisa bersikap dewasa, blm wise dll, tentu harus punya
kesabaran tersendiri, tapi dia tidak pernah mengeluh dan tidak pernah
menyudutkan saya. Ia sabar mendengar kegalawan saya ttg banyak hal. Ia tidak
judging saya sebagai permepuan lemah apalagi tolol, justru ia boosting saya
untuk kuat dan tegar.
Sebagai keluarga kecil yang
mengawali kehidupan yang scr financial pas-pasan, membuat kami butuh kerjasama
yang kuat, baik untuk urusan domestic maupun urusan membangun ketahanan
financial keluarga. Sebagai kepala keluarga, ia sering membagi peran mengasuh
anak atau menghadiri acara sekolah anak jika saya berhalangan. Ia pun siap
berbagi pekerjaan domestic spt mencuci, bebenah maupun menjaga anak jika kami
sedang krisis pembantu. Ia bukan type lelaki yg terima beres, ia tau kapan ia
harus terima beres dan kapan harus terlibat. Dengan sikap itu saya tidak
pontang panting sendirian di rumah tangga sehingga mengorbankan kesempatan
karier saya.
Bayangkan juga, saya bekerja di
perusahaan yang gak sedikit jumlah lawan jenis yang menarik disekiling saya, tetapi
saya tetap berinteraksi wajar dengan orang2 itu. Apakah suami saya
cemburu? Walahu’alam, tp menurut pengakuannya ada beberapa case yang membuatnya
cemburu dan merasa insecure. Tapi apakah ia bereaksi temperamen dng membabi
buta cemburu dengan saya atau meragukan kesetiaan saya dan kemudian menuduh-
nudah saya yang tidak2? Sama sekali TIDAK PERNAH, ia tidak pernah begitu. Tiap
kali ia cemburu, ia akan lebih banyak meluangkan waktu untuk saya, lebih
telaten menjemput saya di kantor,ia ingin menunjukan pada dunia, ini lho saya
suami wanita ini. Ia pun membangun hubungan yang hangat pada orang yg
dicemburuinya, dengan pembawaanya yg penuh wibawa dan humoris, ia seperti
membuat org akhirnya mundur teratur gak berani punya niat macam2 sama saya, krn
merasa respect padanya. Kepercayaannya atas integritas saya ini yang selalu ia
berikan pada saya adalah penghargaan terbesar buat saya.
Ia juga bukan type orang yang
sedikit2 marah, sedikit2 pridenya terganggu, ia cukup easy going, jika ada yang
membuatnya marah memang ia akan menegur saya, tapi cara ia marah pun tidak
membuatnya menjelma menjadi diktator yang galak. Kadang kami terlibat
pertengakaran yang cukup seru, tapi kami membiarkan kami masing2 menenangkan
diri dulu, selanjutnya kami akan membahas masalah dan sama2 membuat komitment
perbaikan.
Untuk urusan financial, ia pun
type pekerja keras, gak mau berpangku tangan, dan pantang bergantung pada
istri. Buatnya hasil keringat saya adalah hak saya, silahkan jika mau
diinvestasikan untuk anak2 atau untuk membantu keluarga saya, tapi untuk masalah
domestik ia lelaki yang bertanggungjawab memenuhi kebutuhan kami.
Ia pun cukup sadar perlunya
membiarkan saya menjadi pribadi yang tidak terlepas dr keluarga maupun
pergaulan saya. Ia tidak pernah tidak adil dalam menjalin silaturahim dengan
semua pihak dari pihak saya dan pihaknya.
Itu semua yang membuat saya
merasa utuh, merasa punya kesempatan hidup wajar meski saya memutuskan menikah
di usia yang masih muda.
Saya tidak kebayang jika menikah
dengan lelaki yang bukan dia, misalnya lelaki yang pencemburu, suka mengekang,
tidak mau saling membantu memanage rumah tangga, tidak toleran atau temperamental. Jika itu
terjadi saya yakin kedewasaan saya tidak akan berkembang, atau mungkin saya
justru akan menjadi perempuan yang kurang puas sama masa muda yang hari gini
masih suka asik sendiri mencari kebahagiaan diluar rumah.
Intinya ketika memutuskan ingin
menikah muda, pastikan pasangan yang dipilih adalah orang yang memang memiliki
karakteristik yang positif dan memiliki toleransi yang besar, sehingga mampu
ikut membantu/mendorong kita untuk mendewasakan dan mengaktualisasikan diri. Pastikan
pula anda menikah muda dalam keadaan anda dan pasangan siap menyongsong hidup
mandiri, bukan dlm keadaan yang belum siap membangun hidup karena masih tersangkut
urusan pendidikan atau tidak punya pekerjaan.
Menikah memang wajib dengan orang
yang soleh, tapi harus kembali lagi saya ingatkan, soleh itu ukurannya tidak
hanya dari banyaknya raka’at solat yang ia lakukan, atau banyaknya ayat yang
dibaca atau dihapal, lihatlah apakah ia cukup konsisten dng ajaran Allah,sbg
lelaki atau perempuan apakah prilaku dan keputusan2 hidupnya sudah sesuai tauladan Rasul
junjungan kita atau jangan2 ia hanya melakukan peribatan sebatas dibibir dan
simbolik semata?
Meski jodoh itu adalah rezeki
Allah, tapi pastikan ketika ingin menikah muda, lebih banyak lah mendekatkan
diri dengan Allah, lebih jeli lah melihat pasangan yang kita pilih, lebih tegas
dan jujurlah pada pilihan kita, menikah ini bukan sebentar, tapi perjalanan panjang
menghabiskan sisa usia. Menikah muda bukanlah masalah jika kita mampu mengenali
pasangan kita dengan baik dan telah dipikirkan dengan matang, namun bisa jadi petaka
jika logika kita tertutup oleh faktor2 lain dan pernikahan dilakukan dng dasar cinta buta apalagi
jika terdapat unsur keterpaksaan.