Pages

Thursday, February 13, 2014

Menikah muda dan Bahagia


Dikantor saya saat ini, saya bagaikan maminya anak2, sebagai HRD maka saya tempat karyawan konsultasi banyak hal kadang terselip konsultasi percintaan mereka sekaligus. Mengingat karyawan di kantor rata2 berusia muda yaitu sekitar 20 an awal sampai dengan 30an awal.
Sebenarnya saya tidak terpaut jauh secara usia dari sebagian besar mereka, namun karena saya udah menikah dalam hitungan tahun yg lumayan lama dan memiliki 2 anak, bahkan salah satu anak saya hampir berusia 9 tahun. Maka saya terkesan jauh lebih banyak pengalaman krn duluan terjun ngadepin kehidupan, dan lama2 trasa jarak usia seperti jauh saja, hehehe

Pertanyaan yang paling banyak muncul dikala para ‘pasien’ saya ini curhat adalah, pertanyaan bgmn saya menjalani pernikahan di usiayang terbilang muda? Mereka semua tau bahwa saya adalah orang yang menikah di usia yang cukup muda untuk ukuran orang sekarang, 23 tahun!

Seiring banyaknya pertanyaan itu, saya kadang berfikir kebelakang, apakah ada sisi di diri saya yang hilang dengan saya menikah muda?
Saya menikah satu tahun setelah tahun kelulusan saya dari Hukum UI, 2004 silam. Teman seusia saya bahkan masih banyak yang belum lulus kuliah. Saya di gank yang duluan menikah, padahal isi gank saya ada 13 orang.

Saat itu banyak muncul pertanyaan, kalau dari keluarga besar bahkan ada beberapa yang bener2 menyayangkan keputusan saya, alasannya sederhana saja, kasian sama saya yang sudah susah payah kuliah di UI tapi blm sempet mengibarkan karier tinggi tinggi tapi sudah keburu nikah. Artinya dalam mindset orang2 itu bahwa dng keputusan saya menikah kurang dari setahun setelah lulus kuliah maka pupuslah kesempatan berkarier buat saya.
Bahkan ada lho beberapa tante yang merupakan keluarga saya yang memiliki anak sebaya dengan saya nyeletuk : “duh kalo anak saya mah masih pengen karier dulu, masih pengen seneng2 traveling kemana2 dulu, kalo sudah puas baru lah menikah.”

Herannya saat itu saya tidak terpengaruh pada komentar2 semacam itu. Saya seperti yakin aja bahwa saya menikah muda saya tetap punya kesempatan berkarier dan saya masih bisa menikmati traveling bahkan tetap punya kesempatan bermain dengan teman2.
Finally saya melangkah dengan ringan kedalam pernikahan bahkan tidak menunda2 kehamilan, semua berjalan mengalir saja, 10 bulan menikah lalu punya anak. Di awal pernikahan kami hidup bukan dengan kondisi financial yang sudah mapan,kami tidak dibekali warisan harta,rumah dan kendaraan tidak punya, saya dan husb sama2 berjuang di karier kami masing2 untuk memenuhi basic need kami. Husb memilih berwiraswata, lalu lanjut menekuni dengan profesi lawyernya dan saya memilih menekuni bidang HRD dan bekerja di perusahaan milik orang lain.

Semua terasa berjalan wajar saja, dng aktifitas saya sebagai wanita pekerja, saya secara tidak langsung saya tetap memiliki kesempatan bergaul,punya sahabat- sahabat, bahkan sempat aktif di beberapa komunitas. Seiring berjalannya waktu, financial beranjak baik, maka kami pun tetap bisa menikmati travelling, bahkan kerap menyenangkan orang tua dengan sering mengajak mereka turut serta diagenda travelling kami. Karier saya juga berkembang sesuai harapan, kesempatan saya untuk mengembangkan kapasitas saya pun tetap berjalan sesuai tahapannya.

Menjelang 1 dekade pernikahan kami, belakangan saya sering berfikir, kayaknya pernikahan dini saya tidak merusak apapun dalam diri saya deh?malah menurut saya justru sebaliknya, cukup mengakselerasi kedewasaan dan kemandirian saya. Saya bukan GR, ini yang saya dapatkan dari komentar teman2 saya, mnrt mereka diusia 30an awal saya sudah sangat independence dlm banyak hal.

Dan ternyata ketakutan yang disampaikan oleh orang2 kepada saya saat saya dulu hendak menikah itu terpatahkan semua. Kenapa bisa begitu ya?

Kalau saya menyimpulkan, faktor terbesar adalah faktor siapa pendamping saya. Saya menikahi lelaki soleh yang demokratis, posistif thingking dan optimis.

Banyangkan saja, ia mampu menerima kekurangan saya dengan begitu legowo, menikahi wanita pecicilan diusianya yang muda,tentu jauh belum bisa bersikap dewasa, blm wise dll, tentu harus punya kesabaran tersendiri, tapi dia tidak pernah mengeluh dan tidak pernah menyudutkan saya. Ia sabar mendengar kegalawan saya ttg banyak hal. Ia tidak judging saya sebagai permepuan lemah apalagi tolol, justru ia boosting saya untuk kuat dan tegar.
Sebagai keluarga kecil yang mengawali kehidupan yang scr financial pas-pasan, membuat kami butuh kerjasama yang kuat, baik untuk urusan domestic maupun urusan membangun ketahanan financial keluarga. Sebagai kepala keluarga, ia sering membagi peran mengasuh anak atau menghadiri acara sekolah anak jika saya berhalangan. Ia pun siap berbagi pekerjaan domestic spt mencuci, bebenah maupun menjaga anak jika kami sedang krisis pembantu. Ia bukan type lelaki yg terima beres, ia tau kapan ia harus terima beres dan kapan harus terlibat. Dengan sikap itu saya tidak pontang panting sendirian di rumah tangga sehingga mengorbankan kesempatan karier saya.

Bayangkan juga, saya bekerja di perusahaan yang gak sedikit jumlah lawan jenis yang menarik disekiling saya, tetapi saya tetap berinteraksi wajar dengan orang2 itu. Apakah suami saya cemburu? Walahu’alam, tp menurut pengakuannya ada beberapa case yang membuatnya cemburu dan merasa insecure. Tapi apakah ia bereaksi temperamen dng membabi buta cemburu dengan saya atau meragukan kesetiaan saya dan kemudian menuduh- nudah saya yang tidak2? Sama sekali TIDAK PERNAH, ia tidak pernah begitu. Tiap kali ia cemburu, ia akan lebih banyak meluangkan waktu untuk saya, lebih telaten menjemput saya di kantor,ia ingin menunjukan pada dunia, ini lho saya suami wanita ini. Ia pun membangun hubungan yang hangat pada orang yg dicemburuinya, dengan pembawaanya yg penuh wibawa dan humoris, ia seperti membuat org akhirnya mundur teratur gak berani punya niat macam2 sama saya, krn merasa respect padanya. Kepercayaannya atas integritas saya ini yang selalu ia berikan pada saya adalah penghargaan terbesar buat saya.

Ia juga bukan type orang yang sedikit2 marah, sedikit2 pridenya terganggu, ia cukup easy going, jika ada yang membuatnya marah memang ia akan menegur saya, tapi cara ia marah pun tidak membuatnya menjelma menjadi diktator yang galak. Kadang kami terlibat pertengakaran yang cukup seru, tapi kami membiarkan kami masing2 menenangkan diri dulu, selanjutnya kami akan membahas masalah dan sama2 membuat komitment perbaikan.

Untuk urusan financial, ia pun type pekerja keras, gak mau berpangku tangan, dan pantang bergantung pada istri. Buatnya hasil keringat saya adalah hak saya, silahkan jika mau diinvestasikan untuk anak2 atau untuk membantu keluarga saya, tapi untuk masalah domestik ia lelaki yang bertanggungjawab memenuhi kebutuhan kami.

Ia pun cukup sadar perlunya membiarkan saya menjadi pribadi yang tidak terlepas dr keluarga maupun pergaulan saya. Ia tidak pernah tidak adil dalam menjalin silaturahim dengan semua pihak dari pihak saya dan pihaknya.


Itu semua yang membuat saya merasa utuh, merasa punya kesempatan hidup wajar meski saya memutuskan menikah di usia yang masih muda.
Saya tidak kebayang jika menikah dengan lelaki yang bukan dia, misalnya lelaki yang pencemburu, suka mengekang, tidak mau saling membantu memanage rumah tangga,  tidak toleran atau temperamental. Jika itu terjadi saya yakin kedewasaan saya tidak akan berkembang, atau mungkin saya justru akan menjadi perempuan yang kurang puas sama masa muda yang hari gini masih suka asik sendiri mencari kebahagiaan diluar rumah.

Intinya ketika memutuskan ingin menikah muda, pastikan pasangan yang dipilih adalah orang yang memang memiliki karakteristik yang positif dan memiliki toleransi yang besar, sehingga mampu ikut membantu/mendorong kita untuk mendewasakan dan mengaktualisasikan diri. Pastikan pula anda menikah muda dalam keadaan anda dan pasangan siap menyongsong hidup mandiri, bukan dlm keadaan yang belum siap membangun hidup karena masih tersangkut urusan  pendidikan atau tidak punya pekerjaan.
 Menikah memang wajib dengan orang yang soleh, tapi harus kembali lagi saya ingatkan, soleh itu ukurannya tidak hanya dari banyaknya raka’at solat yang ia lakukan, atau banyaknya ayat yang dibaca atau dihapal, lihatlah apakah ia cukup konsisten dng ajaran Allah,sbg lelaki atau perempuan apakah prilaku dan keputusan2 hidupnya sudah sesuai tauladan Rasul junjungan kita atau jangan2 ia hanya melakukan peribatan sebatas dibibir dan simbolik semata?
Meski jodoh itu adalah rezeki Allah, tapi pastikan ketika ingin menikah muda, lebih banyak lah mendekatkan diri dengan Allah, lebih jeli lah melihat pasangan yang kita pilih, lebih tegas dan jujurlah pada pilihan kita, menikah ini bukan sebentar, tapi perjalanan panjang menghabiskan sisa usia. Menikah muda bukanlah masalah jika kita mampu mengenali pasangan kita dengan baik dan telah dipikirkan dengan matang, namun bisa jadi petaka jika logika kita tertutup oleh faktor2 lain dan pernikahan dilakukan dng dasar cinta buta apalagi jika terdapat unsur keterpaksaan.
 

No comments: