Pages

Tuesday, February 25, 2014

Pentingnya Membangun Integrity dan Character Pada Anak


Beberapa hari lalu saya diundang oleh sebuah universitas swasta terkemuka di Jakarta untuk memberikan advice ttg kurikulum perkuliahan mereka. Ada kecemasan dari pihak universitas berkaitan dng kualitas lulusan mereka, mereka ingin mengetahui kualitas semacam apa yang diperlukan oleh freshgraduate untuk dapat bersaing di bursa kerja. Saat itu saya duduk bersama dengan beberapa perwakilan dari beberapa kementrian dan beberapa institusi perbankan besar di Indonesia sebagai narasumber.

Sekelumit cerita, selama 10 tahun lebih saya menjadi HRD saya memang merasakan begitu banyak perubahan pada candidate pekerja yg saya test dan interview. Perubahan yang saya tangkap adalah, kualitas freshgraduate saat ini lebih melek teknologi, semua yang berkaitan dng skill computer sampai dengan pem-program-an computer hampir semua dikuasai. Tapi negaatifnya, saya menemukan hampir semua freshgraduate yg kami test memiliki masalah berupa stabilitas emosi dan daya tahan terhadap stress. Setelah 2 masalah ini saya juga menemukan permasalahan persuasive communication,writing skill, inisiatif dan proactive.

Di lapangan kami sebagai HRD sangat mendapat tantangan berat untuk menyuntikkan budaya2 baru kepada anak2muda dengan masalah ini. Kami dihadapkan pada kenyataan bahwa para pekerja baru ini secara mental belum bisa siap dilepas, harus bayak diberikan tantangan dan guidance. Kami punya PR terbesar yaitu harus selalu mencreate program2 yang mampu menstimulus kekurangan anak2 ini.

Kalau jaman dahulu HRD bisa sekedar mengawasi, tapi saat ini HRD harus kreatif membangun sistem2 yang menstimulus, jadi fungsi pengawasan bukan sekedar pengawasan saja. Menjalankan peran develop itu bahkan menjadi tugas utama.

Saat acara di universitas yang saya katakan tadi, kami para narasumber bersepakat bahwa universitas memang perlu memiliki sistem2 yang menstimulus hal itu. Kemampuan teknis adalah hal yang diperlukan, tapi teknis semata tidak cukup untuk membentuk mental pekerja yang professional dan kompeten.

Saya pribadi merumuskan, aspek yang diperlukan bagi seorang calon pekerja dan pekerja adalah :

  1. Integrity
  2. Character
  3. Technical Skill & Language

Saya meletakkan integrity diatas karena saya menilai, seseorang harus tau aturan main secara otomatis. Setiap orang harus tau apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dengan kesadaran yang kuat akan hal itu maka seseorang akan sangat mudah diberikan tanggungjawab. Tanpa diperintah tanpa diawasi terus menerus orang ini akan menjalani tanggungjawabnya dengan baik dan jujur. Coba lihat kenyataan sekarang para politisi muda yang terlibat korupsi adl orang2 yang berpendidikan tapi sayangnya minim integritas,maka apa yang terjadi, kekuasaan yang dimiliki tidak untuk memperbaiki Negara tapi dipakai untuk kepentingan pribadi dan memperkaya, inilah yang saya artikan bahwa integritas harus diletakakan paling atas.

Saya meletakkan character diurutan kedua, karena saya yakin faktor kepribadian dapat menggerakkan seseorang untuk meraih cita2. Contoh, seseorang yang tidak punya kesempatan menimba ilmu di sekolah terbaik bukan berarti ia tidak akan berhasil, semua berpulang pada kemauan ia untuk bekerja keras, mental yang gigih dan optimis. Serta karakter kepribadian positif lainnya. Saya pernah menemukan di lapangan, ada orang lulusan USA, dng IQ yang tinggi dan kemampuan bahasa yang handal. Namun ia memiliki banyak catatan permaslaahan pada faktor kepribadiannya. Seperti kerjasama, stabilitas emosi, persuasive communication dll. Akhirnya orang ini tidak mampu bekerja dengan baik dalam team kerjanya, ia pun tidak mampu mengendalikan diri saat emosi memuncak. Akhirnya kerjasama yang kami harapakan dng orang ini tidak berjalan baik. Maka dengan sangat menyesal hubungan kerja pun tidak dapat diteruskan.

Dan terakhir adalah faktor technical skill. Untuk beberapa jenis pekerjaan memang kemampuan teknis perlu dimiliki. Kemampuan teknis yang dimaksud adalah kemampuan mengerjakan pekerjaan utamanya. Jikalau konsultan pajak, maka knowledge pajaknya harus mumpuni. Ini memudahkan ia menyelesaikan pekerjannya, memudahkan dirinya meraih prestasi di bidang teknis pekerjaanya.

Tapi jika faktor ketiga dimiliki namun faktor pertama dan kedua tidak dimiliki, saya yakin sepintar dan sehebat apapun teknis yang dikuasai, orang ini tidak akan mampu bekerjasama dengan orang lain, atau mungkin yang lebih parah mungkin tidak akan mmapu diberikan kepercayaan untuk memegang suatu tanggungjawab besar.

Saya pernah menemukan di lapangan, ada seorang lulusan terbaik dari sebuah fakultas bergengsi di Universitas Indonesia, ketika terjun di dunia karier, kariernya mandek, bener2 mandek tidak menunjukkan gerakan positif. Ia mengeluh bahwa lingkungannya didominasi oleh orang2 lulusan luar negeri. Saya prihatin melihat ini. Dari cara ia bertutur pun saya menilai orang ini tidak memiliki karakter siap bersaing, meskipun secara teknis ia setara, saya yakin itu, tidak mungkin salah satu lulusan terbaik dari UI kapasitasnya buruk. Dan ketika saya amati orang ini integritasnya ternyata memang agak menghawatirkan, ia bertutur pada saya sangat ringan bahwa alasan ia bertahan ditempat kerja saat ini karena  bisa leluasa untuk meninggalkan kantor dengan mudah sehingga ia bisa sambil bekerja menjalankan bisnis sampingan dijam kantornya. Saya tidak perlu menjelaskan, saya yakin atasan orang ini pun terganggu dengan habbit orang ini, saya yakin disaat seseorang mencuri2 waktu kerja untuk kepentingan pribadi, pasti achievement kerjanya pun akan menurun. Dan apakah salah bahwa jika orang ini kariernya mandek? Yang salah bukan karena ia lulusan dalam negri dan sekitarnya lulusan luar negeri, tapi apa boleh buat secara mental mungkin orang sekelilingnya jauh lebih bisa diandalkan daripada dirinya. Saya sudah mencoba memberikan masukan ini pada orang itu, tapi saya tidak tau lagi sekarang seperti apa. Tapi disini saya share karena bagi saya ini bukti nyata, bahwa case by case seperti ini terjadi di dunia nyata.

Inilah PR kita semua, tugas bagi semua orang tua dan pendidik di Indonesia. Kita membutuhkan generasi muda yang kuat dan mampu bersaing di era globalisasi. Beberapa tahun lagi disaat pasar bebas mulai masuk di Indonesia, kita harus siap menerima gempuran tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia, maka apa kabar dengan anak2 kita jika mereka tidak dibekali system pendidikan yang mengedepankan faktor2 diatas?

Saat saya menulis ini saya ingin mengingatkan pada semua pembaca blog saya, bahwa pendidikan tidak mutlak diserahkan kepada pihak sekolah atau universitas, pendidikan paling mendasar bagi anak2 kita dimulai dari rumah. Jangan lelah untuk mencari strategi untuk membangun karakter yang kuat bagi anak2 kita di rumah, jangan menyeplekan komunikasi dng anak2, jangan sekali2 membiarkan anak2 tumbuh begitu saja tanpa perhatian dan kasih sayang. Jangan menyamakan zaman kita dahulu dengan zaman anak2 kita kelak. Bukalah mata, kita memang tidak bisa santai dalam mendidik anak2 kita, karena ini tugas berat.

Thursday, February 13, 2014

Memperlakukan Si Tukang Selak Antrian


Pernah gak diselak orang saat mengantri?

Pernah gak ada orang ujug- ujug serasa asik sendiri motong barisan kita saat ngantri di kasir pas mau bayar apa gitu?

Pernah gaaak?
Gimana reaksi kalian?
Ngedumel?
Cemberut?
Protes ke kasirnya?
Atau langsung negur orangnya?

Hehehe ini  kejadian nih pagi tadi saat saya mengantri di depan kasir sebuah supermarket.
Sebelum saya ngantor, saya mampir ke supermarket deket kantor yang menjual sayur2an organic untuk makanan anak2 saya,stok di rumah habis. Saya enggak belanja banyak2 amat, tapi sekeranjang emang agak full.
Saya mengantri dibelakang seorang ibu dengan sabar. Ketika ibu di depan saya sedang menunggu uang kembalian dari kasir, saya langsung memindahkan isi keranjang ke meja kasir. Lalu tiba- tiba muncul ibu2 lain di depan saya dan menyorongkan barang belanjaanya ke hadapan kasir sambil berkata :
Ibu : nih mbak, kan belanjaan saya enggak banyak

Kasir, security dan saya sama2 bengong, tp kl saya mungkin bukan bengong tepatnya tapi melotot.

Saya langsung komentar : Bu, kalo anda buru- buru saya juga sama buru- burunya,tapi bukan alasan buat saya untuk nyelak orang didepan saya tadi. Jadi kamu sekarang silahkan mundur kebelakang, antri dibelakang saya.

Ibu itu langsung pucet dan malu, lalu mundur ke belakang. Untung enggak ngomel balik, kl ngomel balik mungkin lebih seru jadinya hehehe. Tapi saya lihat kok ia agak malu.

Sebenernya saya enggak bermaksud membuat dia malu, tapi sikap seenaknya itu sudah mempermalukan dirinya sendiri. Mungkin selama ini org bisa toleransi dng hanya ngomel sendiri melihat prilaku org begini, tp menurut saya pesan moralnya enggak dapet, jadi mending ditegor aja langsung. Gak perlu memaki- maki sih, cukup dengan tegas dan jelas menunjukkan kita enggak suka diperlakukan begitu.Mudah2an di lain kesempatan enggak diulang sama dia.

Menikah muda dan Bahagia


Dikantor saya saat ini, saya bagaikan maminya anak2, sebagai HRD maka saya tempat karyawan konsultasi banyak hal kadang terselip konsultasi percintaan mereka sekaligus. Mengingat karyawan di kantor rata2 berusia muda yaitu sekitar 20 an awal sampai dengan 30an awal.
Sebenarnya saya tidak terpaut jauh secara usia dari sebagian besar mereka, namun karena saya udah menikah dalam hitungan tahun yg lumayan lama dan memiliki 2 anak, bahkan salah satu anak saya hampir berusia 9 tahun. Maka saya terkesan jauh lebih banyak pengalaman krn duluan terjun ngadepin kehidupan, dan lama2 trasa jarak usia seperti jauh saja, hehehe

Pertanyaan yang paling banyak muncul dikala para ‘pasien’ saya ini curhat adalah, pertanyaan bgmn saya menjalani pernikahan di usiayang terbilang muda? Mereka semua tau bahwa saya adalah orang yang menikah di usia yang cukup muda untuk ukuran orang sekarang, 23 tahun!

Seiring banyaknya pertanyaan itu, saya kadang berfikir kebelakang, apakah ada sisi di diri saya yang hilang dengan saya menikah muda?
Saya menikah satu tahun setelah tahun kelulusan saya dari Hukum UI, 2004 silam. Teman seusia saya bahkan masih banyak yang belum lulus kuliah. Saya di gank yang duluan menikah, padahal isi gank saya ada 13 orang.

Saat itu banyak muncul pertanyaan, kalau dari keluarga besar bahkan ada beberapa yang bener2 menyayangkan keputusan saya, alasannya sederhana saja, kasian sama saya yang sudah susah payah kuliah di UI tapi blm sempet mengibarkan karier tinggi tinggi tapi sudah keburu nikah. Artinya dalam mindset orang2 itu bahwa dng keputusan saya menikah kurang dari setahun setelah lulus kuliah maka pupuslah kesempatan berkarier buat saya.
Bahkan ada lho beberapa tante yang merupakan keluarga saya yang memiliki anak sebaya dengan saya nyeletuk : “duh kalo anak saya mah masih pengen karier dulu, masih pengen seneng2 traveling kemana2 dulu, kalo sudah puas baru lah menikah.”

Herannya saat itu saya tidak terpengaruh pada komentar2 semacam itu. Saya seperti yakin aja bahwa saya menikah muda saya tetap punya kesempatan berkarier dan saya masih bisa menikmati traveling bahkan tetap punya kesempatan bermain dengan teman2.
Finally saya melangkah dengan ringan kedalam pernikahan bahkan tidak menunda2 kehamilan, semua berjalan mengalir saja, 10 bulan menikah lalu punya anak. Di awal pernikahan kami hidup bukan dengan kondisi financial yang sudah mapan,kami tidak dibekali warisan harta,rumah dan kendaraan tidak punya, saya dan husb sama2 berjuang di karier kami masing2 untuk memenuhi basic need kami. Husb memilih berwiraswata, lalu lanjut menekuni dengan profesi lawyernya dan saya memilih menekuni bidang HRD dan bekerja di perusahaan milik orang lain.

Semua terasa berjalan wajar saja, dng aktifitas saya sebagai wanita pekerja, saya secara tidak langsung saya tetap memiliki kesempatan bergaul,punya sahabat- sahabat, bahkan sempat aktif di beberapa komunitas. Seiring berjalannya waktu, financial beranjak baik, maka kami pun tetap bisa menikmati travelling, bahkan kerap menyenangkan orang tua dengan sering mengajak mereka turut serta diagenda travelling kami. Karier saya juga berkembang sesuai harapan, kesempatan saya untuk mengembangkan kapasitas saya pun tetap berjalan sesuai tahapannya.

Menjelang 1 dekade pernikahan kami, belakangan saya sering berfikir, kayaknya pernikahan dini saya tidak merusak apapun dalam diri saya deh?malah menurut saya justru sebaliknya, cukup mengakselerasi kedewasaan dan kemandirian saya. Saya bukan GR, ini yang saya dapatkan dari komentar teman2 saya, mnrt mereka diusia 30an awal saya sudah sangat independence dlm banyak hal.

Dan ternyata ketakutan yang disampaikan oleh orang2 kepada saya saat saya dulu hendak menikah itu terpatahkan semua. Kenapa bisa begitu ya?

Kalau saya menyimpulkan, faktor terbesar adalah faktor siapa pendamping saya. Saya menikahi lelaki soleh yang demokratis, posistif thingking dan optimis.

Banyangkan saja, ia mampu menerima kekurangan saya dengan begitu legowo, menikahi wanita pecicilan diusianya yang muda,tentu jauh belum bisa bersikap dewasa, blm wise dll, tentu harus punya kesabaran tersendiri, tapi dia tidak pernah mengeluh dan tidak pernah menyudutkan saya. Ia sabar mendengar kegalawan saya ttg banyak hal. Ia tidak judging saya sebagai permepuan lemah apalagi tolol, justru ia boosting saya untuk kuat dan tegar.
Sebagai keluarga kecil yang mengawali kehidupan yang scr financial pas-pasan, membuat kami butuh kerjasama yang kuat, baik untuk urusan domestic maupun urusan membangun ketahanan financial keluarga. Sebagai kepala keluarga, ia sering membagi peran mengasuh anak atau menghadiri acara sekolah anak jika saya berhalangan. Ia pun siap berbagi pekerjaan domestic spt mencuci, bebenah maupun menjaga anak jika kami sedang krisis pembantu. Ia bukan type lelaki yg terima beres, ia tau kapan ia harus terima beres dan kapan harus terlibat. Dengan sikap itu saya tidak pontang panting sendirian di rumah tangga sehingga mengorbankan kesempatan karier saya.

Bayangkan juga, saya bekerja di perusahaan yang gak sedikit jumlah lawan jenis yang menarik disekiling saya, tetapi saya tetap berinteraksi wajar dengan orang2 itu. Apakah suami saya cemburu? Walahu’alam, tp menurut pengakuannya ada beberapa case yang membuatnya cemburu dan merasa insecure. Tapi apakah ia bereaksi temperamen dng membabi buta cemburu dengan saya atau meragukan kesetiaan saya dan kemudian menuduh- nudah saya yang tidak2? Sama sekali TIDAK PERNAH, ia tidak pernah begitu. Tiap kali ia cemburu, ia akan lebih banyak meluangkan waktu untuk saya, lebih telaten menjemput saya di kantor,ia ingin menunjukan pada dunia, ini lho saya suami wanita ini. Ia pun membangun hubungan yang hangat pada orang yg dicemburuinya, dengan pembawaanya yg penuh wibawa dan humoris, ia seperti membuat org akhirnya mundur teratur gak berani punya niat macam2 sama saya, krn merasa respect padanya. Kepercayaannya atas integritas saya ini yang selalu ia berikan pada saya adalah penghargaan terbesar buat saya.

Ia juga bukan type orang yang sedikit2 marah, sedikit2 pridenya terganggu, ia cukup easy going, jika ada yang membuatnya marah memang ia akan menegur saya, tapi cara ia marah pun tidak membuatnya menjelma menjadi diktator yang galak. Kadang kami terlibat pertengakaran yang cukup seru, tapi kami membiarkan kami masing2 menenangkan diri dulu, selanjutnya kami akan membahas masalah dan sama2 membuat komitment perbaikan.

Untuk urusan financial, ia pun type pekerja keras, gak mau berpangku tangan, dan pantang bergantung pada istri. Buatnya hasil keringat saya adalah hak saya, silahkan jika mau diinvestasikan untuk anak2 atau untuk membantu keluarga saya, tapi untuk masalah domestik ia lelaki yang bertanggungjawab memenuhi kebutuhan kami.

Ia pun cukup sadar perlunya membiarkan saya menjadi pribadi yang tidak terlepas dr keluarga maupun pergaulan saya. Ia tidak pernah tidak adil dalam menjalin silaturahim dengan semua pihak dari pihak saya dan pihaknya.


Itu semua yang membuat saya merasa utuh, merasa punya kesempatan hidup wajar meski saya memutuskan menikah di usia yang masih muda.
Saya tidak kebayang jika menikah dengan lelaki yang bukan dia, misalnya lelaki yang pencemburu, suka mengekang, tidak mau saling membantu memanage rumah tangga,  tidak toleran atau temperamental. Jika itu terjadi saya yakin kedewasaan saya tidak akan berkembang, atau mungkin saya justru akan menjadi perempuan yang kurang puas sama masa muda yang hari gini masih suka asik sendiri mencari kebahagiaan diluar rumah.

Intinya ketika memutuskan ingin menikah muda, pastikan pasangan yang dipilih adalah orang yang memang memiliki karakteristik yang positif dan memiliki toleransi yang besar, sehingga mampu ikut membantu/mendorong kita untuk mendewasakan dan mengaktualisasikan diri. Pastikan pula anda menikah muda dalam keadaan anda dan pasangan siap menyongsong hidup mandiri, bukan dlm keadaan yang belum siap membangun hidup karena masih tersangkut urusan  pendidikan atau tidak punya pekerjaan.
 Menikah memang wajib dengan orang yang soleh, tapi harus kembali lagi saya ingatkan, soleh itu ukurannya tidak hanya dari banyaknya raka’at solat yang ia lakukan, atau banyaknya ayat yang dibaca atau dihapal, lihatlah apakah ia cukup konsisten dng ajaran Allah,sbg lelaki atau perempuan apakah prilaku dan keputusan2 hidupnya sudah sesuai tauladan Rasul junjungan kita atau jangan2 ia hanya melakukan peribatan sebatas dibibir dan simbolik semata?
Meski jodoh itu adalah rezeki Allah, tapi pastikan ketika ingin menikah muda, lebih banyak lah mendekatkan diri dengan Allah, lebih jeli lah melihat pasangan yang kita pilih, lebih tegas dan jujurlah pada pilihan kita, menikah ini bukan sebentar, tapi perjalanan panjang menghabiskan sisa usia. Menikah muda bukanlah masalah jika kita mampu mengenali pasangan kita dengan baik dan telah dipikirkan dengan matang, namun bisa jadi petaka jika logika kita tertutup oleh faktor2 lain dan pernikahan dilakukan dng dasar cinta buta apalagi jika terdapat unsur keterpaksaan.