Beberapa hari lalu saya diundang oleh sebuah universitas
swasta terkemuka di Jakarta untuk memberikan advice ttg kurikulum perkuliahan
mereka. Ada kecemasan dari pihak universitas berkaitan dng kualitas lulusan
mereka, mereka ingin mengetahui kualitas semacam apa yang diperlukan oleh
freshgraduate untuk dapat bersaing di bursa kerja. Saat itu saya duduk bersama
dengan beberapa perwakilan dari beberapa kementrian dan beberapa institusi
perbankan besar di Indonesia sebagai narasumber.
Sekelumit cerita, selama 10 tahun lebih saya menjadi HRD
saya memang merasakan begitu banyak perubahan pada candidate pekerja yg saya test
dan interview. Perubahan yang saya tangkap adalah, kualitas freshgraduate saat
ini lebih melek teknologi, semua yang berkaitan dng skill computer sampai
dengan pem-program-an computer hampir semua dikuasai. Tapi negaatifnya, saya
menemukan hampir semua freshgraduate yg kami test memiliki masalah berupa
stabilitas emosi dan daya tahan terhadap stress. Setelah 2 masalah ini saya juga
menemukan permasalahan persuasive communication,writing skill, inisiatif dan
proactive.
Di lapangan kami sebagai HRD sangat mendapat tantangan berat
untuk menyuntikkan budaya2 baru kepada anak2muda dengan masalah ini. Kami
dihadapkan pada kenyataan bahwa para pekerja baru ini secara mental belum bisa
siap dilepas, harus bayak diberikan tantangan dan guidance. Kami punya PR
terbesar yaitu harus selalu mencreate program2 yang mampu menstimulus kekurangan
anak2 ini.
Kalau jaman dahulu HRD bisa sekedar mengawasi, tapi saat ini
HRD harus kreatif membangun sistem2 yang menstimulus, jadi fungsi pengawasan
bukan sekedar pengawasan saja. Menjalankan peran develop itu bahkan menjadi
tugas utama.
Saat acara di universitas yang saya katakan tadi, kami para
narasumber bersepakat bahwa universitas memang perlu memiliki sistem2 yang
menstimulus hal itu. Kemampuan teknis adalah hal yang diperlukan, tapi teknis
semata tidak cukup untuk membentuk mental pekerja yang professional dan
kompeten.
Saya pribadi merumuskan, aspek yang diperlukan bagi seorang
calon pekerja dan pekerja adalah :
- Integrity
- Character
- Technical Skill & Language
Saya meletakkan integrity diatas karena saya menilai,
seseorang harus tau aturan main secara otomatis. Setiap orang harus tau apa
yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dengan kesadaran yang
kuat akan hal itu maka seseorang akan sangat mudah diberikan tanggungjawab.
Tanpa diperintah tanpa diawasi terus menerus orang ini akan menjalani
tanggungjawabnya dengan baik dan jujur. Coba lihat kenyataan sekarang para
politisi muda yang terlibat korupsi adl orang2 yang berpendidikan tapi sayangnya
minim integritas,maka apa yang terjadi, kekuasaan yang dimiliki tidak untuk
memperbaiki Negara tapi dipakai untuk kepentingan pribadi dan memperkaya,
inilah yang saya artikan bahwa integritas harus diletakakan paling atas.
Saya meletakkan character diurutan kedua, karena saya yakin
faktor kepribadian dapat menggerakkan seseorang untuk meraih cita2. Contoh,
seseorang yang tidak punya kesempatan menimba ilmu di sekolah terbaik bukan
berarti ia tidak akan berhasil, semua berpulang pada kemauan ia untuk bekerja
keras, mental yang gigih dan optimis. Serta karakter kepribadian positif lainnya.
Saya pernah menemukan di lapangan, ada orang lulusan USA, dng IQ yang tinggi
dan kemampuan bahasa yang handal. Namun ia memiliki banyak catatan permaslaahan
pada faktor kepribadiannya. Seperti kerjasama, stabilitas emosi, persuasive
communication dll. Akhirnya orang ini tidak mampu bekerja dengan baik dalam
team kerjanya, ia pun tidak mampu mengendalikan diri saat emosi memuncak.
Akhirnya kerjasama yang kami harapakan dng orang ini tidak berjalan baik. Maka
dengan sangat menyesal hubungan kerja pun tidak dapat diteruskan.
Dan terakhir adalah faktor technical skill. Untuk beberapa
jenis pekerjaan memang kemampuan teknis perlu dimiliki. Kemampuan teknis yang
dimaksud adalah kemampuan mengerjakan pekerjaan utamanya. Jikalau konsultan
pajak, maka knowledge pajaknya harus mumpuni. Ini memudahkan ia menyelesaikan
pekerjannya, memudahkan dirinya meraih prestasi di bidang teknis pekerjaanya.
Tapi jika faktor ketiga dimiliki namun faktor pertama dan
kedua tidak dimiliki, saya yakin sepintar dan sehebat apapun teknis yang
dikuasai, orang ini tidak akan mampu bekerjasama dengan orang lain, atau
mungkin yang lebih parah mungkin tidak akan mmapu diberikan kepercayaan untuk
memegang suatu tanggungjawab besar.
Saya pernah menemukan di lapangan, ada seorang lulusan
terbaik dari sebuah fakultas bergengsi di Universitas Indonesia, ketika terjun
di dunia karier, kariernya mandek, bener2 mandek tidak menunjukkan gerakan
positif. Ia mengeluh bahwa lingkungannya didominasi oleh orang2 lulusan luar
negeri. Saya prihatin melihat ini. Dari cara ia bertutur pun saya menilai orang
ini tidak memiliki karakter siap bersaing, meskipun secara teknis ia setara,
saya yakin itu, tidak mungkin salah satu lulusan terbaik dari UI kapasitasnya
buruk. Dan ketika saya amati orang ini integritasnya ternyata memang agak
menghawatirkan, ia bertutur pada saya sangat ringan bahwa alasan ia bertahan
ditempat kerja saat ini karena bisa
leluasa untuk meninggalkan kantor dengan mudah sehingga ia bisa sambil bekerja
menjalankan bisnis sampingan dijam kantornya. Saya tidak perlu menjelaskan,
saya yakin atasan orang ini pun terganggu dengan habbit orang ini, saya yakin
disaat seseorang mencuri2 waktu kerja untuk kepentingan pribadi, pasti
achievement kerjanya pun akan menurun. Dan apakah salah bahwa jika orang ini
kariernya mandek? Yang salah bukan karena ia lulusan dalam negri dan sekitarnya
lulusan luar negeri, tapi apa boleh buat secara mental mungkin orang
sekelilingnya jauh lebih bisa diandalkan daripada dirinya. Saya sudah mencoba
memberikan masukan ini pada orang itu, tapi saya tidak tau lagi sekarang seperti
apa. Tapi disini saya share karena bagi saya ini bukti nyata, bahwa case by
case seperti ini terjadi di dunia nyata.
Inilah PR kita semua, tugas bagi semua orang tua dan
pendidik di Indonesia. Kita membutuhkan generasi muda yang kuat dan mampu
bersaing di era globalisasi. Beberapa tahun lagi disaat pasar bebas mulai masuk
di Indonesia, kita harus siap menerima gempuran tenaga kerja asing yang masuk
ke Indonesia, maka apa kabar dengan anak2 kita jika mereka tidak dibekali system
pendidikan yang mengedepankan faktor2 diatas?
Saat saya menulis ini saya ingin mengingatkan pada semua
pembaca blog saya, bahwa pendidikan tidak mutlak diserahkan kepada pihak sekolah
atau universitas, pendidikan paling mendasar bagi anak2 kita dimulai dari
rumah. Jangan lelah untuk mencari strategi untuk membangun karakter yang kuat
bagi anak2 kita di rumah, jangan menyeplekan komunikasi dng anak2, jangan
sekali2 membiarkan anak2 tumbuh begitu saja tanpa perhatian dan kasih sayang.
Jangan menyamakan zaman kita dahulu dengan zaman anak2 kita kelak. Bukalah
mata, kita memang tidak bisa santai dalam mendidik anak2 kita, karena ini tugas
berat.