Sekelumit uneg- uneg saya yang sedang menikmati hujan di meja kerja saya di daerah Selatan Jakarta. Saya pengguna media social yang lumayan aktif, saya memiliki akun Facebook, Twitter, Instagram, dan Path. Memang tidak semuanya aktif, belakangan yang paling aktif adalah path. Karena path lebih dirasa mengasyikkan karena relative lebih privat, kita boleh memilih siapa2 teman yang boleh berteman dengan kita.
Kegiatan saya di path biasanya
enggak jauh2 dari memposting tentang masakan saya, makanan kesukaan,
mengabadikan kegiatan dng teman, saudara maupun kerabat, tingkah laku konyol2
saya dan teman2 dan sisanya lebih banyak tentang tingkah anak2 saya. Saya rasa
itu yang masih sesuai dengan etika kepantasan untuk di share dengan khalayak.
Meskipun path cukup limited tetapi saya masih merasa yang ada didalam jejaring
path saya kesemuanya bukanlah masuk kategori orang- orang yang merupakan
sahabat terdekat saya, saya harus katakan mereka adalah orang lain buat saya.
Untuk itu saya rasa masih perlu
untuk memilah mana informasi yang patut dibagikan kepada mereka dan mana yang
tidak patut. Sejauh ini saya menutup sekali informasi mengenai hal2 berkaitan
dng masalah pribadi terlebih lagi mengenai materi. Buat saya kepemilikan materi
adalah privacy, selain itu ada nilai kepantasan yang saya yakini bahwa urusan
mengumbar kepemilikan atas materi itu bagian dari sifat pamer. Dan sifat pamer
bukan sifat yang dapat dikatakan benar, mengapa? Karena ditinjau dari pemahaman
agama sudah jelas salah, ditinjau dari aspek psikologis pun itu salah satu
prilaku yang memprihatinkan karena menjurus pada gejala Hedonisme. Banyak
akibat buruk yang ditimbulkan oleh hedonisme. Pertama, lenyapnya kekayaan,
meningkatnya jurang antar miskin dan kaya berkembangnya kemiskinan,
kebangkrutan dan hutang di tengah masyarakat kecil. Ibnu Khaldun sejarawan dan
sosiolog muslim dalam hal ini berkata: Sejauh mana sebuah masyarakat tenggelam
dalam hedonisme, sejauh itulah mereka akan mendekati batas kehancuran. Proses
kehancuran akan terjadi karena hedonisme secara perlahan akan menyebabkan
kemiskinan masyarakat dan negara. Sejauh mana hedonisme mewabah, sejauh itu
pulalah kemiskinan akan menyebar di tengah masyarakat.
Tidak ada yang salah dengan
memakai barang yang dirasa nyaman bagi kita apalagi sesuai dengan isi kantong.
Tapi yang salah adalah jika situasinya secara sengaja menampilkan materi yang
dimiliki apalagi jika tujuannya untuk membanggakan diri apalagi show up materi
demi diberi label dirinya mapan dan sesuai dengan standar kekayaan yang
menurutnya dianut orang lain.
Coba jika diperhatikan dengan
seksama, mungkin teman2 dapat memperhatikan banyaknya teman dalam jejaring socialnya
kita masing2 yang aktif memposting foto – foto yang menunjukkan hal ini,
seperti, memposting gambar perhiasan emas yang baru dibelinya, gambar tas
maupun sepatu koleksinya dengan harus memotret label nya, memajang foto mobil
yang digunakannya lengkap dengan plat mobilnya (mungkin supaya semua orang tau
itu mobil masih baru), memotret struk belanjaan milikinya, memajang foto2
situasi ruangan lengkap dengan perabot dalam rumahnya, memajang progress pembangunan
rumah barunya dan postingan lain sebagainya yang menunjukkan sikap pamer. Bahkan
saya pernah menemukan teman yang berpose di toilet (WC) rumah barunya untuk
menunjukkan pada dunia tentang kemewahan rumahnya. Sejujurnya yang dilihat ini
menimbulkan reaksi berbeda dari banyak orang, mungkin ada yang gerah karena
iri, mungkin juga ada yang kecil hati karena tidak memiliki barang yang sama,
mungkin juga menjadi jijik karena tidak sepaham dengan kesombongan orang2 ini
atau mungkin justru seperti saya dan teman2 yang melihat itu semua malah menjadikannya
guyonan karena tindakan itu saya nilai sangat konyol dan tidak menunjukkan
sikap yang elegant.
Dewasa ini jarang orang memposting kegiatan belanja di pasar,
kegiatan sederhana di alam, kegiatan alamiah manusia yang tidak melibatkan
proses pamer harta ini, makan makanan kampung, melakukan aktifitas yang sederhana,
naik kendaraan umum, maupun kegiatan biasa- biasa saja lainnya. Hanya segelintir
orang yang tampil nyaman dengan dirinya
sendiri tanpa membawa embel2 harta seperti ini, jarang sekali orang tampil
alamiah layaknya manusia normal. Gaya seperti itu belakangan ini dinilai hal normal,
malah cenderung diposting norak dan ketinggalan jaman.

Tapi mungkin inilah tantangan
kita, gaya hidup hedonism ini memiliki daya tarik yang kuat, apalagi dengan
kuatnya pengaruh media social yang membuat orang mudah tergiur untuk eksis dan
show off. Ini adalah ujian berat bagi kita untuk mengambil langkah- langkah
aman untuk menjauhkan diri kita dari godaan gaya hidup hedonism. Para pihak
harus kembali menyadari pentingnya kembali menjalani hidup yang normal, maka
mulailah untuk terbiasa menampilkan kesederhanaan dan membiasakan bersikap
bersahaja. Karena kita adalah role model generasi kedepan.
Tidak ada yang salah dengan
menampilkan citra diri yang mapan, sepanjang tetap memperhatikan sikap sederhana
dan tidak pamer. Mulailah berimbang untuk menunjukkan sisi diri kita yang
sebenarnya, berhentilah terobsesi membangun image ‘saya orang kaya’. Anda harus
sadar anda tidak perlu bersaing dengan siapapun untuk itu, anda cukup
membuktikan diri untuk diri anda sendiri bahwa anda adalah orang yang mampu
bertahan hidup dengan normal dan memegang teguh prinsip hidup anda, tentu
prinsip hidup yang positif. Anda tidak perlu sibuk menunjukkan diri anda sukses, orang yang sebenarnya sukses malah jauh lebih fokus pada hal- hal bermanfaat bukan hal2 yang sama sekali tidak memiliki manfaat seperti pamer.
Anda tidak perlu menjadi orang lain dan menarik
perhatian orang lain, yang perlu anda titik beratkan adalah bagaimana anda bisa
survive di masa depan anda, bagaimana anda menciptakan generasi berikutnya yang
berkualitas bukan yang hedonism.
No comments:
Post a Comment