Pages

Thursday, May 31, 2012

Peran Ayah dan Mengasuh Anak

Suatu sore saya datang menghadiri Kultum di masjid kantor, acara rutin yang diselenggarakan oleh pengurus masjid kantor. kali ini tema pembahasannya pendidikan anak. Saya type orang yang suka sekali dengna hal2 berbau parenting, menarik untuk disimak.
Biasanya untuk urusan mendidik anak, maka ibu yang yang seolah di kultuskan sebagai ujung tombaknya, tapi kali ini si ustadz mengetengahkan sasaran yang menarik, yaitu ayah sebagai ujung tombak pendidikan anak. mengapa? Selain karena ia mengacu pada banyaknya kisah ayah-anak di Al Quran yang banyak, ia pun melihat dari aspek psikologis anak akan lebih pede dengan kehadiran ayahnya.
Kenapa kita sering mendengar bahwa perceraian orang tua bisa berdampak buruk bagi perkembangan anak?nah saya mendapat jawabannya disini. Seorang anak memang selayaknya tumbuh di keluarga yang utuh, dimana figure ayah dan ibu lengkap tersedia untuk mereka amati, dan hal itu bs tidak terwujud disituasi keluarga yg tidak utuh.
Ini koreksi buat saya dan suami, yang awalnya kami mengkotakkan bahwa urusan anak2 itu urusan saya, suami taunya beres. Ternyata gak semuanya hal itu bener adanya.
Untuk urusan anak, idealnya harus ada pembagian peran, saya dan suami berbagi porsi pengasuhan, idealnya semacam itu, dan kami pun memang sudah merubah situaasi ke arah itu meski belum juga total sempurna.
Sewaktu saya melahirkan Brave, memang kami sepakat, kehadiran suami saya harus kongkrit dirasa oleh Brave, Brave harus dekat dan intim dengan papanya. Tujuannya agar Brave menjadikan papa nya sebagai rolemodel. Ia harus akrab sama papa nya, untuk itu pola yang tadinya semua urusan anak saya yang handle, sejak itu kami ubah.
Suami saya pelan2 ambil bagian dalam ngurus Brave, sekarang aturan di rumah cukup jelas, tiap pagi tugas suami saya adalah memandikan Brave, sepulang kerja jika Brave belum tidur tugas suami saya menimang Brave sampai tidur. Jadi memang suami saya terlibat betul dengan pengurusan Brave, tidak seperti waktu Lulla kecil dulu. Kami yang minim pengetahuan dan begitu banyaknya orang yang siap membantu membuat suami saya berada pada urutan terakhir dalam mengasuh Lulla. Efeknya jelas kami rasa sekarang, Lulla lebih mencontoh saya pada semua hal, dan ia lebih bisa memahami apa yang saya katakan daripada papa nya. Ini kurang seimbang. Terlebih lagi, Lulla kurang percaya diri, tidak suka kegiatan fisik seperti bersepeda dan man keluar rumah,dan yang parahnya Lulla tidak punya keagresifan lelaki saat harus melawan teman2 lelakinya yang kerap nakal,  itusemua karena kurang stimulus yang harusnya ia dapatkan dari papa nya. jadi pendapat si ustadz ada benernya, anak2 perlu mengadokpsi gaya sikap laki2 yang ada pada diri seorang ayah, bagaimana kaum lelaki berfikir secara logis, bagaimana lelaki marah dengan perempuanmarah kan berbeda, jadi kebayang gak kalo seorang anak laki2 menumpahkan rasa marahnya ala perempuan karena minimnya role model dari ayahnya?kan jadi konyol. hal- hal ini yang harus kami perbaiki di pengasuhan Brave yang kebetulan memang anak laki- laki.
Sekarang suami saya kerja keras mengejar ketinggalan itu, maka untuk urusan Lulla seperti les dan lainnya, suami saya banyak melibatkan dirinya. Mudah2an tidak terlalu ketinggalan.
Nah berbicara mengenai peran ayah, ternyata apa yang kami rasakan belakangan ini bahwa peranan ayah itu begitu penting, ini benar adanya, seorang ayah harusnya memiliki kewajiban yang sama dengan ibu dalam hal pengasuhan anak. namun yang kita lihat dilapangan kan berbeda. Banyak kalangan ayah yang sampai rumah benar2 tidak mau berurusan dengan anak. bahkan mertua saya berkisah bahwa kakek suami saya dulunya setiap pulang kerumah dan makan, anak2 nya tidak boleh menggangu, bahkan kakek suami saya itu total tidak ikut pola pengasuhan yang terjadi di rumah, gak tau apa2 tentang perkembangan anak, tau2 gak sadar anakanya udah pada besar saja. Sedikit banyak pola itu diadopsi oleh mertua saya, mertua saya jadi tidak familiar dekat dengan anak2nya, sampai anak2nya dewasa pun mertua saya tidak terbiasa menjadi teman curhat atau tempat berkonsultasi bagi anak2nya. Pada keluarga saya juga terjadi hal yang mirip, papa saya cenderung jadi orang terakhir yang tau tentang kami dibanding mama saya, karena sejak kecil papa saya memang tidak memposisikan sebagai pengasuh kami. Papa cenderung menjalankan tugas sebagai pencari nafkah dan pemberi izin jika kami memerlukan izin keluar dan bepergian.
Kasian sekali saya melihat papa saya dan papa mertua saya saat ini, peran mereka disaat anak2 dewasa jadi terasa nomor dua dibanding para mama. Ini semua menurut saya terjadi karena proses interaksi yang dibangun sejak anak2 kecil. Anak2 selalu diserahkan kepada para ibu, si ayah terima bersih hanya mau dekat anak di kondisi ideal, misalnya si anak lagi gak bersedih dan di kondisi yang sudah rapih, giliran disaat mood anak lagi down, anak sakit, anak lagi butuh bantuan, semua ditangani oleh ibunya,maka memori akan orang paling setia buat anak2 adalah ibunya, si ayah menjadi tidak menonjol.
Jadi para bapak harusnya berfikir lagi jika mau menjalankan pola lama tentang interaksinya dengan anak, saat anak2 masih kecil inilah saatnya merekatkan ingatan anak2 akan peran ayah, jangan sampai dimata anak2 peran ayah hanya si pencari nafkah dan pemberi izin, ternyata setelah anak2 dewasa ingatan akan hal itu tidak membekas sama sekali di benak anak. para ayah hanya akan menjadi orang nomor kesekian dibenak anak2nya.
jadi sebelum para ayah merasa kelak anak2 setelah dewasa durhaka, ada baiknya saat anak2 kecil lakukanlah peran sebagai ayah yang baik, jangan sampai kita menuntut anak tidak durhaka ketika mereka besar ternyata dimasa mereka kecil ayahnya malah menjadi orang tua yang durhaka karena hanya mau kebagian bagian yang 'enak'nya saja, sementara disaat sulit ayah cenderung 'cuci tangan'.

No comments: