Pages

Friday, April 16, 2010

Orang Tua Yang Diktator...

Masih jaman kah kata dictator disandang oleh orang tua?

Seinget saya dengan tumbangnya rezim Soeharto harusnya rezim orang tua diktator juga berlalu..eheheh..tapi ternyata enggak ya,masiih aja banyak orang tua yang kekeuh memerankan sebagai figure diktator dimata anak-anaknya.Basi sih emang..tapi kesian juga kalo masih gak sadar..

Saat ini saya sudah berubah peran menjadi orang tua,saya punya anak yang harus saya didik,tentu saya terus belajar bagimana membuat pola didik yang nantinya membentuk anak anak yang soleh/soleha,berakhlak mulia,sukses hidup dunia dan akhirat. Standarlah..impian semua orang tua terhadap anaknya.

Sedikit flashback, saya tumbuh dan lahir dari keluarga yang gaya didiknya masih rada jadul,artinya masih terselip nuansa diktatorisme di keluarga saya,well jujur saja,papa memerankan tokoh antagonis dictator itu.namun gak mutlak juga itu terjadi,karena mama saya adalah sosok ibu yang mampu menampung aspirasi anak2nya dan memperjuangkannya ke papa,akhirnya papa pun tidak mutlak diktator.Apalagi setelah kami anak2 papa mama selesai kuliah,orang tua saya cenderung meminta kami menata hidup dan memilih jalan hidup sesuai hati nurani kami,dan setelah kami menikah orang tua mempercayakan kami mengatur kehidupan kami sendiri. Mereka menghormati keberadaan pasangan kami masing-masing,mereka pun mencoba memposisikan kami sebagai orang dewasa yang sudah harus bertanggungjawab dunia dan akhirat. Yang jelas, Papa mama cuma mengingatkan bahwa kami harus patuh pada norma social dan norma agama yang kami anut. Orang tua saya tidak pernah mengatur saya mau berkarier dimana,saya mau beli rumah dimana,saya mau pilih mobil apa,saya mau punya anak berapa,dan segala urusan domestic lainnya. Begitu juga saya lihat dari apa yang dirasakan oleh suami saya maupun ipar saya lainnya baik ipar perempuan maupun laki-laki. Kalo orang tua saya bermasalah gak mungkin ipar perempuan saya betah seatap dengan papa mama saya. Yang saya kagumi, orang tua saya menjadikan semua menantu selayaknya anaknya sendiri tanpa ikut-ikutan mencampuri urusan rumah tangga si anak,seberapa pun dekatnya hubungan yang ada. Jadi kesan papa saya diktator itu hanya hidup ketika saya berusaia belia,masih di usia sekolah. Dan setelah itu papa menjadi orang yang human sekali,seorang kakek yang dicintai oleh menantu dan cucu2 yang dimiliki.

Demikian halnya dengan mertua saya, sosok yang merupakan orang tua saya. Papa in law saya, cenderung manut sama anak,di usia yang lanjut dan status duda, papa cenderung memilih ikut anak, memasrahkan hidup diurus oleh anak dan menantu.Enam tahun sudah saya jadi menantunya,papa inlaw saya gak pernah kelihatan memaksakan kehendak maupun mencampuri urusan rumah tangga anak-anaknya.Papa menghormati semua perbedaan yang dimiliki oleh menantu menantunya. Dan tidak heran saya melihat semua menantu dan cucu2 yang dimilikinya,menyayangi beliau.

Persamaan lain yang dimiliki orang tua saya dan mertua saya adalah,mereka menikmati masa tua karena mereka mampu mempercayakan anak-anaknya untuk mewakili mereka dalam menyelesaikan masalah yang ada. Contoh:ketika orang tua saya akan menikahkan anak bungsunya,papa mama saya tidak pusing,karena ketiga anaknya yang sudah menikah mampu mengurus semua keperluan mulai dari pendanaan sampai pelaksanaan. Contoh lagi : ketika mama inlaw saya sakit sampai meninggal dunia,papa inlaw saya tidak pusing mulai dari masalah pembiayaan sampai dengan pelaksanaan penguburan dan lainnya,anak-anaknya menyelesaikan semua urusannya. Papa hanya tinggal mengecek perkembangan yang ada,dan semua pun beres oleh anak-anak.

Saya memperhatikan itu semua, saya merasa betapa kedua orang tua yang saya punya ternyata benar-benar menikmati masa tuanya,anak-anak yang didiknya mampu berbakti kepada mereka dan mereka menikmati itu dihari tuanya.



Saya berfikir,apa yang membuat mereka seberuntung itu?

Ternyata kuncinya, para orang tua terbisa menghormati pendapat anak,orang tua melatih anak-anak untuk menjadi pemimpin yang tangguh.

Simple memang,tapi sungguh berat menjalaninya pada kondisi nyata. Para orang tua saya mampu untuk mengesampingkan egosentris mereka selaku orang tua,mereka mampu mengesampingkan pemikiran bahwa mereka adalah orang yang lebih dulu menjalani hidup,orang yang lebih dulu tau mana yang benar dan salah,dan orang yang memiliki pengalaman lebih banyak. Dan dengan kesemua yang mereka miliki,mereka tidak bersikap selaku orang tua yang paling tau segalanya,orang tua yang selalu benar dan orang tua yang merasa pendapatnya harus dijalankan oleh semua anaknya. Alhamdulilah sikap diktator itu tidak tumbuh menggurita dalam diri kedua pasang orang tua saya.

Para orang tua saya hanya sedikit memainkan peran agak keras kepada kami saat usia kami yang belia,dimana kami semua selaku anak-anaknya dilatih disiplin.Dan saya sepakat melatih kedisiplinan memang harus dengan ketegasan tersendiri. Setelah kami bisa berfikir sendiri dan sudah dianggap dewasa kami bebas mengemukanan keinginan kami,boleh membuat pilihan ,dan mulai diberi tangungjawab untuk menyelesaikan masalah sendiri, namun semua itu harus dengan catatan, asalkan…sesuai dengan norma agama dan norma social, serta mampu mempertanggungjawabakan resiko yang ada. Lalu setelah kami menikah, orang tua menghormati kami selaku entitas yang berdiri sendiri, sehinga mereka menghormati pilihan kami,keputusan kami dan jalan hidup yang kami jalani.

Saya mulai paham hal itu,maka saya terapkan pada Lulla, dari mulai hal-hal kecil kami menstimulusnya untuk bisa membuat keputusan untuknya sendiri. Lulla sudah mulai saya ajak diskusi. Ketika kami ingin ia memiliki kegiatan ekstra,saya menawarkan les piano,tapi ia menolak,ia memilih ballet.Saya dan suami menghormati keputusannya,meski saya akhirnya memberi segudang wejangan,saya gak mau dia malas-malasan dan main-main saat latihan.Dan ia terima apa yang saya sampaikan,setelah berjalan setahun,Lulla berhasil serius mengikuti les balletnya,ia adalah satu-satunya peserta yang sudah mampu stand dengan posisi kaki yang paling sempurna.Ia menjiwai apa yang menjadi pilihannya.

Begitu juga dengan les membaca,ia mengikuti kelas di sebuah lembaga,kemudian kami berniat memindahkan di lembaga kursus serupa yang baru buka di komplek kami,ia menolak,dengan alasan dia sudah ‘match’ sama teman les di tempat sekarang,padahal tempat les yang sekarang itu lokasinya jauh.Akhirnya saya membiarkannya memilih,tapi saya ajukan syarat,dia harus ambil konsekuensi untuk bangun tidur siang lebih awal dan menjalani perjalanan selama setengah jam tanpa mengeluh capek,dan saya minta progres kemajuannya menulis (tulisannya masih besar-besar belom bagus) dan kalau ia tidak commit lebih baik pindah les di komplek saja. Dia commit atas syarat saya,dia gak lagi ngambek kalo dibangunin tidur siang pas mau berangkat les,dan dia lebih rajin melatih tulisannya agar kecil kecil dan rapih.

Disinilah saya belajar, orang tua memang sebaiknya tidak terus menerus memainkan peran sebagai diktator,alias pihak penguasa yang berhak mengatur dan selalu ingin tau semua aspek hidup anaknya teutama anak yang sudah menikah. Sedari kecil anak harus belajar untuk membuat keputusan dan secara konsekuen menerima resikonya. Ini akan melatih EQ anak,memang dari semua pilihan anak pasti ada kalanya mereka membuat pilihan yang mungkin gak menguntungkan bagi dirinya,disinilah letak anak belajr logika.Pengalaman akan membangun seseorang bukan?baik pengalaman yang menguntungkan dan merugikan.




Dari banyak contoh kehidupan yang saya temui,adanya orang tua yang bersikap diktator hanya akan membuat perpecahan apalagi setelah anak menikah,tentu orang tua gak bisa mengatur mantu seenak mengatur anak sendiri,walau bagaimana menantu bukan anak kita,tetap anak orang lain. Berbeda dengan anak kandung, mau sesakit hati apapun pada orang tuanya pasti akan mudah baik kembali,tapi kalo orang tua menyakiti menantu,akan lebih panjang urusannya,bisa-bisa pihak yang juga merasa sakit hati melebar pada keluarga si menantu. Banyak kan cerita perceraian yang diakibatkan oleh ulah mertua yang mengatur rumah tangga anaknya terlalu jauh???

Untuk itu kita selaku orang tua harus mulai terbiasa membiarkan anak membuat keputusan, mengingatkan tentu boleh tapi mengatur dan mendikte lebih lanjut,please don’t!anak bukanlah boneka yang berhak kita atur dan kita dikte seenak hati kita. Siapapun tidak ingin hidup terus menerus diatur dan tidak diberi kebebasan,semua orang ingin merdeka bukan?mengatur hidupnya sendiri, mewujudkan mimpinya sendiri, menjalani kehidupan yang sesuai kata hatinya sendiri dan hal lain yang ia tentukan sendiri secara dewasa pasti impian semua manusia normal.

Selain itu, menjadi orang tua diktator tentu akan menjadi hal yang menakutkan bagi anak maupun menantu,jangan harap anak dan menantu berani terbuka pada orang tua semacam ini,karena pasti takut jika terbuka akan ditentang atau diatur-atur,mereka akan cenderung menghindar dan mencari aman.Ujung-ujungnya anak dan menantu menjalani hubungan dengan orang tua hanya sebatas hubungan formal belaka bukan pakai hati dan kasih sayang. Lambat laun orang tua jadi sosok yang begitu menakutkan bagi anak dan menantu,jangan-jangan orang tua semacam ini pun tidak dapat mengecap hubungan harmonis dan penuh kasih dari cucu pula, untuk apa masa tua jika tidak dihabiskan dengan bahagia bersama anak dan keturunan?toh dimasa kita tua,kita akan bergantung pada anak dan menantu dan disemangati oleh kehadiran cucu cucu tercinta,jika mereka itu semua menjauhi kita dan menjaga jarak dengan kita,alangkah sedihnya masa tua kita?

Orang tua harusnya bukan menjadi sosok yang menakutkan dan menyebalkan,orang tua harusnya menjadi pihak yang mengayomi dan menjadi teman berbagi bagi anak,baik dimasa anak-anak masih kecil,remaja,dewasa dan menikah. Perlu kita semua sadari,kita memang orang tua yang lebih dulu menjalani hidup,tapi kita bukan orang yang paling benar paling hebat diatas siapapun juga,kita bukan Tuhan.

No comments: