Yang sudah pada jadi parents kemungkinan pernah membaca tulisan Ibu
Elly Risman pakar parenting anak tentang Adversity Quotient. Apakah itu?
Berikut petikan saya dari tulisan beliau :
“Adversity quotient menurut Paul G.
Stoltz dalam bukunya yg berjudul sama, adalah kecerdasan menghadapi kesulitan
atau hambatan dan kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan
tantangan yang dialami.
Bukannya kecerdasan ini yg jd lebih penting daripada
IQ, untuk menghadapi masalah sehari-hari?
Perasaan mampu melewati ujian juga luar biasa
nikmatnya. Merasa bisa menyelesaikan masalah, mulai dari yang sederhana sampai
yang sulit, membuat diri semakin percaya bahwa meminta tolong hanya dilakukan
ketika kita benar2 tdk lagi bisa.Setelah di coba melewati kesusahan.Tidak
masalah anak mengalami sedikit luka, sedikit nangis, sedikit kecewa, sedikit
telat dan sedikit kehujanan. Akui kesulitan yang sedang dia hadapi,Tahan lidah,
tangan dan hati dari memberikan bantuan, ajari menangani frustrasi. Kalau anda
selalu jadi ibu peri atau guardian angel, apa yang terjadi jika anda tdk
bernafas lagi esok hari?Bisa-bisa anak
anda ikut mati.
Sulit memang untuk tidak mengintervensi, ketika
melihat anak sendiri susah, sakit dan sedih
Apalagi dg menjadi orangtua, insting pertama adalah
melindungi, jadi melatih AQ ini adalah ujian kita sendiri juga sebagai orangtua.
Tapi sadarilah hidup penuh dengan ketidakenakan dan masalah akan selalu ada.
Dan mereka harus bisa bertahan. Melewati hujan, badai,
dan kesulitan, yang kadang tidak selalu bisa kita hindarkan. Permata hanyalah
arang… yang bisa melewati tekanan dengan sangat baik”
Tulisan
beliau tentang hal ini sempat diringkas dalam sebuah format JPEG dan menyebar
di berbagai media social. Saya bersyukur ada orang sebaik beliau sehingga
berkenan membagi ilmunya untuk mengingatkan kita semua sebagai orang tua.
Anak- anak
saya memang masih kecil- kecil, kakak 11tahun dan adik baru mau 5 tahun.Tapi
bukan berarti saya tidak menjalani peran ibu bagi anak remaja maupun para anak
muda, kenapa? Profesi saya sebagai HR dan coach yang mengharuskan saya bertemu
dengan berbagai anak remaja dan anak muda beserta problematika mereka.
Bagi saya di
tiap pekerjaan saya selaku ibu di rumah maupun “ibu” professional di kantor ini
adalah media saya belajar.
Tulisan saya
ini adalah sedikit cerita apa yang saya temui di dunia kerja saya.
Sebulan ini
saya menemukan 6 kasus anak muda dengan problematikan yang berat, kisaran
usianya adalah 20 – 24 tahun. Bukan anak- anak lagi, mereka sudah masuk kategori dewasa.
Dari 6 kasus
ceritanya beda- beda, tapi dalam tulisan ini saya ingin membagi bahwa salah satu
dari 6 anak muda itu terdapat seorang
pemuda berusia 22 tahun yang ingin saya bagi kisahnya disini.
Jika melihat
dari apa yang ibu Elly tuliskan diatas, saya menyimpulkan pemuda ini mengalami
Adversity Quotient Crisis, alias tidak tidak memiliki Adversity Quotient yang
memadai selaku orang dewasa.
Mengapa saya
menyimpulkan demikian?
Awal cerita,
saya mendapat laporan dari seorang manager yang mengeluhkan bawahannya memiliki
masalah dengan hasil kerjanya, hal ini diakibatkan karena rasa tanggungjawab bwahannya pada pekerjaannya tidak
tampak, bawahan tersebut dinilai rapuh, sering tidak masuk kerja untuk alasan
sakit- sakit ringan, bahkan kadang sulit diminta untuk mengerjakan lembur.
Sebuah perusahaan konsultan seperti kami, lembur bukan sebuah hal baru yang
aneh, meskipun kami tidak lembur setiap hari, tetapi di masa sibuk lembur adalah
hal biasa, semacam sebuah resiko profesi. Pada
pegawai- pegawai muda lain adanya situasi lembur dijalankan dengan
cukup smangat, karena mereka tau ini adalah tantangan untuk menaklukkan
deadline. Saya pun ketika seusia mereka akan merasakan hal yang sama.
Namun pada
pemuda ini, saya menemukan berbeda. Maka saya memutuskan untuk memanggilnya ke
ruangan saya untuk menemukan masalah apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya.
Dalam sesi
obrolan bersama saya, anak ini mensiratkan bahwa ia tidak nyaman dengan
kewajiban untuk mengerjakan deadline sampai harus lembur karena ibunya cukup ketat mengatur
perihal kepulangan anak ke rumah, karena sejak kuliah ia harus melaporkan jadwal
kegiatannya dan jam pulangnya. Ia
menceritakan setiap hari hp nya harus bisa diakses oleh ibunya untuk dilakukan
pengecekan, sehingga darihal itulah ibunya menaruh ketidaksukaan pada sang
manager karena merasa anaknya diberikan tugas berat. Saya bertanya kenapa masih
dilakukan pengecekan? Padahal kamu adalah laki2 dewasa dengan umur 22 tahun? Alasan
ibunya adalah ibunya kawatir akan pengaruh yang ditimbulkan oleh media social
pada anaknya, OMG! Pemuda 22 thun bukannya sudah mampu memilih mana yang baik
dan tidak? Pada banyak kasus pemuda 22 tahun malah sudah memberanikan diri
melamar gadis.
Ibu anak ini
sangat tidak mengizinkan anaknya untuk mengikuti aturan main dalam team untuk
bekerja keras mencapai target, padahal dalam masa sibuk bukan anak ibu ini saja
yang morat marit mengejar dealine.
Anak ini pun
ketika saya gali lebih lanjut menyampaikan bahwa sepanjang hidupnya ia tidak
pernah membuat keputusan sendiri, semua hal diputuskan oleh keluarganya bahkan
paman dan bibinya ikut ambil bagian untuk memutuskan. Masuk kuliah, jurusan
yang dituju dipilihkan; mau ujian tugas
akhir, dosen pembimbing dipilihkan yang
dikenal keluarga; mau magang pun diambil
alih untuk dibantu pamannya yang memiliki koneksi ke perusahaan kami; termasuk ketika si anak mengalami situasi
harus lembur si ibu dan paman bibinya sibuk mencarikan tempat kerja baru agar
si anak tidak menemui situasi kerja yang memiliki konsekuensi lembur pada kondisi
deadline. Ia bercerita, dalam sebuah kondisi ketika ia sedang membawa pulang
pekerjaanya untuk dikerjakan, pamannya ikut membantu ia mengerjakan, padahal
yang saya tau pekerjaanya anak ini masih seputar entry level, pekerjaan
administratif yang hanya membutuhkan ketekunan, namun keluarganya tidak
mengizinkan anak ini mengasah ketekunan dan ketelitiannya dengan cara mengambil
alih pekerjaan dengan dalih agar cepat selesai.
Saya
mendengarkan anak ini bertutur dalam perasaan yang entah gak karuan, ia bukan
anak saya, bukan pula keluarga saya, namun saya seperti prihatin memikirkan
kekuatan anak ini menerjang badai hidup di kemudian hari jika ibu, ayah, paman
dan bibinya tidak lagi mampu membantunya, akan jadi apa pemuda seperti ini?
Jangankan
untuk memikul tanggungjawab membenahi bangsa, jangan- jangan pemuda2 seperti
ini malah akan jadi PR bagi bangsa ini karena tidak memiliki Adversity Quotient
yang memadai? Bagi saya saja selaku pemberi kerja saya enggan memberi pekerjaan
dengan orang seperti ini, karena ia cenderung tidak mampu melangkah bersama
perusahaan, ia tidak mampu mengikuti ritme kerja kebanyakan orang, ia tak mampu
memiliki kekuatan yang dimiliki umumnya anak seusianya dalam mengemban
tanggungjawab. Jika saya memaksakan, anak semacam ini hanya akan menjadi
penghambat bagi team kerja. Kapasitas keilmuan anak ini pun sulti dikembangkan,
karena setiap mau menginjak fase baru dalam penambahan kapasitas, ia selalu
gagal dalam memantain semangat belajar, ia tak mampu berkorban untuk itu. Pada
kasus anak ini, sayamengecek pada potensi IQ nya, saya prihatin bahwa Allah
menitipkan kapasitas berfikir yang cukup dan memadai,namun dalam pandangan
kami, ia tak lebih dari orang yang kurang memiliki potensi yang gemilang,
kemampuan kerjanya minim, tangungjawabnya rendah, dan mental kerjanya tidak
bisa diperhitungkan. Kasihan skali anak ini?
Ini masalah
serius, saya sadar manusia tidak luput dari masalah, itulah yang menguatkan
manusia dari hari ke hari. Kita makin dewasa, makin matang dan bijaksana karena
kita mampu melewati masalah demi masalah dengan baik. Contoh sederhana adalah
latihan beban fitness, untuk membentuk otot yang kuat kita ditempa dengan
latihan- latihan berat sehingga kita bercucuran keringat dan mengalami lelah
fisik, namun itu ternyata itu satu- satunya caraa yang baik untuk kita membentuk
fisik yang perfect, memangkas lemak2 tak perlu, menimbulkan banyak manfaat
untuk kesehatan jantung otot dan seluruh tubuh.
Jika untuk
membuat tubuh sehat pun kita harus tertempa dengan kesulitan, lantas apakah
untuk membentuk mental yang kuat kita lakukan dengan santai?
Ini pola pikir
yang harus diubah. Anak- anak perlu menghadapi masalahnya sendiri, jika kita
tak mampu membairkannya menyelesaiakn sendiri, cukup hadir sebagai coach yang
mendampinginya saat masa sulitnya, meski dia tetap harus sendiri menghadapinya.
Kelak toh ia akan sendiri, saat kita tak ada mereka akan tetap hidup diatas
kaki, kemampuan, pemikian, dan kekuatan mereka sendiri.
Mulai hari
ini, selain IQ, EQ, SQ, jangan lupa kita bangun AQ untuk anak- anak yang tangguh
calon pemimpin umat dan pemimpin bangsa.