Pekan lalu saya dapet undangan
seperti biasa di sebuah universitas untuk memberikan materi pengembangan diri
disebuah seminar buat mahasiswa yang baru lulus. Sejak 2 tahun lalu saya
menapaki hobby baru berupa menjadi trainer dan motivator bagi anak- anak muda,
untuk sementara belum komersil yang gimana, tapi hanya sekedar membagi Ilmu dan
hobby belaka.
Saat itu saya mendapat ‘jatah’
untuk memberi materi tentang integritas. Secara pribadi saya sedikit banyak miris
melihat perkembangan anak sekarang. Saat saya Tanya kepada audience siapa
pemakai Handphone Galaxi S IV? Siapa pengguna Iphone 5 ? wah audience saya yang
berusia belasan tahun itu banyak yang antusias menunjuk. Namun ketika saya tanya,
coba siapa disini yang sudah bekerja dan berpenghasilan diatas 4 juta? Tidak ada
yang menunjuk tangan. Segera saya guyoni anak2 itu, wah kalo begitu kalian lebih
besar pasak dari pada tiang, gaya oke kantong enggak oke, gerrrrr… seisi
ruangan tertawa geli bercampur malu.
Sebenernya ini masalah simbol2
pergaulan yang sekarang ini begitu kuat melekat dimindset orang, bahwa untuk
dianggap sukses itu orang harus ber outlook keren dan update, tapi masalah
kekuatan financial sebenarnya cenderung memilih untuk fatamorgana saja.
Baru- baru ini ada pembukaan
sebuah butik brand baju casual ternama tentunya brand impor ya, waduuuh orang-
orang seperti kalap, masa iya ada yang mendatangi mall dari jam 5 pagi dan itu
pun dia bukan antrian pertama.
Ini bukan kali pertama loh orang
di Jakarta bisa spt kehilangan akal dengan rela antri berjam jam gak jelas
untuk hal yang intinya belanja barang.
Sebenernya apa yang terjadi
kenapa masyarakat sekarang begitu konsumtif?
Ya kalo menurut saya, orang
sekarang hidup dengan standar umum, gak pernah bertanya dengan jujur kepada
hatinya, apakah standar umum suitable untuk saya?
Contoh, beli baju brand pake
ngantri 4 jam, dengan alasan model simple dan bahan enak. Apakah beli di ITC
gak ada yang model simple dan bahan enak? Apakah model baju di ITC sejauh itu
trendy nya dibawah brand yang kalo kita mau beli maksa harga murah kudu antri 4
jam? Kan enggak juga. Kalo kita mikir realistis dan gak mentingin merk pasti
kita akan milih beli baju murah, enak dipakai, cukup trendy dan sopan tanpa
harus seperti orang kalap, gak peduli merk apa.
Atau sekarang lagi orang pakai
kendraaan roda emapt kadang bukan lagi di fungsi tapi lebih pada prestige.
Akhirnya gak peduli investasi yang dimiliki cukup menjamin hidupnya apa enggak,
pokoknya pake mobil keren, mahal dan update, padahal masih utang.
Saya lihat orang mementingkan apa
apa yang sifatnya lahiriah belaka, kesadaran ini harus kita hentikan dengan
menghentikan kebiasaan menanamkan sifat2 konsumtif pada anak.
Langkah awal yang sederhana,
biasakan anak memilih barang karena butuh bukan karena ingin. Tunjukkan kepada
anak kebiasaan memilih barang bukan karena brand tapi karena kenyamanan.
Biasakan anak melihat orang tua mengejar pengembangan kapasitas bukan hanya
pengembangan materi.
Biasakan anak melihat segala
sesuatu dari factor ekonomis dan tidaknya sebuah pilihan.
Bisakah kita membiasakan untuk
refreshing dengan tidak melakukan aktifitas yang memancing kita untuk
berbelanja?
Dan terpenting, sudahkan kita
mengajarkan pada anak perjuangan hidup?
Apakah kita sudah melatih mereka menghargai
uang?
Untuk case terakhir ini saya
pernah mencoba Lulla untuk belajar tentang sulitnya mencari uang, ia saya ajak
ke sebuah pasar malam yang banyak pedagang. Ia saya berikan uang dua puluh ribu
lalu kami pergi makan bubur kacang ijo, saya meminta ia membayar dari uang
tersebut, sisanya saya suruh ia membeli barang yang ia butuhkan, saat itu ia
memilih membeli kaos kaki. Sesampai di rumah ia saya ajarkan menghitung berapa
kisaran pendapatan pedagang bubur dan pedagang kaos kaki tadi. Ia mulai
mengerti perkalian dan tambah dan kurang, ia saya minta mengambil kertas dan
pensil, saya meng-guidance nya untuk menghitung, lalu keluarlah angka margin
penjualan dan modal. Disitu saya bilang itulah yang para penjual itu bawa pulang
untuk hidup sehari- hari. Ia terperangah kaget melihat begitu kecilnya angka
pendapatan para pedagang. Disitu nilai- nilai saya masukkan, bahwa hidup itu
sulit, cari uang apalagi, jadi jangan manja dan jangan konsumtif, hidup harus
di planning dengan benar.
Bagi sebagian orang mungkin bertanya,
seorang anak kelas 3 SD apa bisa mencerna penjelasan saya. Saya yakin mengerti
karena materi pelajaran PKN dan Social disekolah sudah mencakup materi seperti
itu. Jadi para parents kita bisa menghentikan gaya hidup konsumtif dengan
mencegah anak- anak termindset konsumtif. Kitalah yang memasukkan informasi ke
mindset anak, untuk itu mulailah bergaya hidup yang jujur untuk menyesuaikan
dengan standar diri kita bukan mengutamakan standar umum.