Pages

Tuesday, October 13, 2009

Menikmati Hidup tanpa Pembantu Rumah Tangga (PRT)

Saya sering kali iri melihat kehidupan orang di Negara maju, rata-rata orang hidup berumah tangga tanpa tergantung orang lain,artinya hampir sebagian besar rumah tangga yang dilakoni oleh penduduk sana tidak menggunakan jasa Pembantu Rumah Tangga. Dan hal itu adalah hal yang lumrah dan yang gak lumrah adalah apabila ada rumah tangga yang dihandle oleh pembantu rumah tangga,artinya keluarga itu pasti begitu kaya raya sehingga mampu membayar jasa pembantu. Saya melihat kehidupan normal tanpa pembantu itu tetap membuat hidup disana berjalan dengan, bahkan banyak orang yang memiliki anak lebih dari 2 pun tetap bisa menjalankan kehidupan dengan begitu lancarnya,dan gak menjadi huru hara seperti di Indonesia,yang masyarakatnya sebagian besar bergantung penuh pada jasa Pembantu rumah tangga. Bahkan saya sendiri pun terjebak dalam belitan ‘kemanjaan’ tersebut. Kenapa saya bilang hal itu sebagai suatu sifat manja?karena saya pun melihat kehidupan orang di Negara maju,mereka bisa hidup tenang dan gak perlu huru hara di rumahnya tanpa pembantu rumah tangga.

Saya adalah produk bentukan masyarakat yang lumayan bergantung sama jasa PRT,orang tua saya keduanya adalah pasangan yang bekerja,sejak saya kecil ortu saya menggunakan jasa PRT untuk mengurus rumah tangga dan mengurus kami. Namun lambat laun ketika kami besar, mama saya mulai menggunakan jasa PRT pulang pergi (tidak menginap) sehingga menuntut saya dan saudara perempuan saya ikut membantu pekerjaan rumah jika pembantu sudah pulang di sore hari. Hal itulah yang mengantarkan saya pada kemampuan memasak dan mengurus rumah. Namun kesalahan orang tua saya adalah tidak membiarkan semua anaknya belajar bekerjasama, anak laki-laki mendapat pengecualian, abang saya seperti di plot untuk gak mengurus rumah, tugas dia hanya mengurus mobil dan binatang peliharaan. Hal tersebut membuat ia menjadi orang yang tidak biasa bekerja rumah tangga Sehingga kami gak pernah berbagi tugas dengannya,padahal ia adalah lelaki yang paling memiliki energy lebih.

Saya yang juga terbiasa mendapat bala bantuan meskipun dari jasa PRT pulang pergi pun merasakan terus menerus tergantung orang lain. Saat ini disaat saya tidak memiliki pembantu tetap di rumah,saya baru menyadari,bahwa selama ini saya telah salah men- threat diri saya. Saya melumpuhkan kemampuan saya bermandiri dan mengurus semua sendiri,saya membiarkan diri saya larut dalam ketergantungan akan PRT,padahal dengan sedikit strategi yg efektif saya pastinya akan bisa.

Saya menyadari hal itu harus diperbaiki secepatnya,maka ketika saya kesulitan pembantu seperti sekarang ini,akhirnya saya mau tidak mau melakoni semua urusan rumah tangga sendiri,tentu dibantu oleh Tori. Yang Alhamdulillah memang terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sedikit crita ttg suami saya, dia adalah lelaki modern yang sama sekali tidak merasa tabu untuk mengerjakan urusan rumah tangga maupun mengurus anak. Sejak masih bujangan dia terbiasa berangkat kepasar untuk belanja kebutuhan rumah menggantikan mamanya yang memang sudah sepuh. Suami saya pun biasa mengurus keponakannya untuk hal-hal yang berkaitan dengan toilet. Dan satu hal,suami saya biasa nyuci sendiri dan menjemur bajunya sendiri,tanpa merasa malu kalo ada orang yang melihat. Buat dia pekerjaan rumah tangga itu gak ada masalah kalo dilakonin laki-laki, toh Rasulullah senentiasa membantu istrinya mengerjakan urusan rumah tangga,jadi gak ada yang salah…

Tapi untuk urusan dapur saya harus akui,suami saya tidak pandai dibidang itu,kalau dia ke dapur malah jadi berantakan,jadi kami pun sadar diri mengambil ‘jatah’ masing-masing. Saya ngurusin dapur, dia mencuci dan bebenah, dan urusan Lulla, kami membuatnya flexible,dengan cara membiarkan Lulla memilih kepengen lagi deket sama siapa,kalo lagi pengen sama saya ya saya yang ngurus,tapi kalo saya sibuk dia sama Tori ya mau-mau aja. Yang terpenting saya selalu menyempatkan diri mempersiapkan kebutuhan makanan,susu dan perlengkapan baju gantinya jika dia akan bepergian ikut papa nya ke kantor.

Sebenarnya,kami mampu menjalani rumah tangga tanpa PRT, toh kami sejak lama telah mencari alternative pengerjaan pekerjaan dengan mudah dengan memanfaatkan teknologi. Segala hal kami upayakan mudah dan cepat dikerjakan. Bahkan seperti urusan cuci setrika, dewasa ini telah menjamur jasa cuci dan setrika kiloan, kami pun memanfaatkan hal tersebut,jauh lebih efisien dan efektif!

Yang jadi problem adalah kami berdua bekerja, Lulla gak mungkin kami bawa terus ke kantor. Kalo lagi musim libur sekolah sih gak apa-apa,tapi ketika sudah masuk sekolah kayak gini,apa yang harus diperbuat?apalagi dia memiliki kegiatan les dari senin sampai rabu,maka sepulang sekolah ia butuh istirahat sebelum melanjutkan aktifitas selanjutnya…


Akhirnya saya kembali merecruit seorang pengasuh dan seseorang yg kebetulan meminta bekerja dan bersedia menjadi penjaga rumah. Tapi tugas kedua orang itu hanya untuk menemani Lulla, sambil bebenah,menyetrika dan menjaga rumah selagi kami belum pulang.

Masak ,mencuci ,mengurus keperluan Lulla dan urusan beberes hal-hal kecil lainnya kami tetap lakukan sendiri. Sepulang saya kerja,penjaga rumah dan PRT diperbolehkan pulang, dan pada weekend mereka kami liburkan,kami sendirilah yang melakukan semua pekerjaan rumah.

Entah terlalu dini atau tidak bagi saya untuk mengatakan bahwa hal ini menyenangkan!memang melelahkan bagi saya terutama,karena setiap malam sepulang kantor saya harus menyediakan makan malam,kemudian harus mempersiapkan masakan untuk keesokan harinya.Belom lagi saya harus mengurus keperluan Lulla sekolah dan les keesokan harinya,menyiapkan baju kerja suami untuk besok serta baju kerja saya sendiri.Jujur itu semua melelahkan,jam setengah 9 malam saya udah kelelahan dan siap tidur,tapi saya jadi lebih pagi saat bangun,jam 4 alarm tubuh saya udah membangunkan saya. Jelas menguntungkan bagi saya ,karena saya bisa sempat tahajud,menggerakkan tubuh saya dan dijamin tidak telat solat subuh!

Selain itu saya sendiri sudah merasakan nikmatnya hidup tanpa PRT,seperti yang sudah saya lakoni sejak 17 September lalu,diamana saya dan Tori bekerjasama mengurus anak dan rumah. Saat weekend pun kami jalani bertiga saja. Kami merasa lebih close satu sama lain,saya pun belajar untuk gak ngoyo untuk nyelesaian semua,pokoknya yang penting makanan tersedia dan ruang keluarga bersih. Alhamdulillah kalo dikerjain dengan gak ngoyo selesainya pun happy,gak bikin lelah dan gak jadi beban…

Pagi tadi,ketika suami saya berangkat mengejar flight paling pagi,saya merasa sunyi sekali di rumah,biasanya rumah saya tidak pernah sesunyi ini,tapi saya benar-benar menikmati kesunyian itu,hanya ada saya dan Lulla di rumah,sampai jam enam pagi pak supir datang,saya mulai kehilangan rasa menyengangkan itu…hohoho..saya mulai menikmati hidup yang menjaga privacy..saya mulai mengenal sisi kehidupan meyenangkan lainnya yang selama ini jarang saya rasakan..saya berharap kan datang satu hari nanti saya sekeluarga benar-benar dapat menikmati suasana penuh privacy dan bebas dari ketergantungan pada PRT. Saya berharap banget dapat mendidik Lulla untuk mandiri dan mengerjakan tanggungjawab hidupnya dengan efisien dan efektif. Semoga juga dijamannya nanti dia akan lebih mudah menemukan ‘jalan’ alternative untuk mempermudahnya menjalani tanggungjawab hidupnya…semoga saja kelak daycare di Indonesia akan menjamur kesemua wilayah, dan semoga juga mindset masyarakat lebih maju kedepannya,sehingga tidaka ada lagi manusia yang hanya hidup menjadi PRT,tetapi para PRT ini dapat berkembang mengerjakan peran strategis dalam masyarakat!

Menurut saya kebiasan bergantung pada jasa PRT ini sebenarnya harus kita geser perlahan,jangan biarkan diri kita dibuai oleh comfort zone yang sebenarnya membuat kita jadi lemah. Saya merasakan sendiri hidup hanya dibantu pengasuh anak,dan penjaga rumah,sebagian besar tugas rumah tangga harus saya tangani sendiri,di weekend pun saya dipaksa berubah peran jadi ibu rumah tanga, sungguh sesuatu yang awalnya saya rasa gak mun gkn saya lakonin,gak make sense saya menjalani beban seberat ini. Tapi diperjalanannya saya malah menikmati dan saya enjoy, saya tak lagi sakit hati oleh ulah PRT di rumah yang kerjanya malas-malasan, seenaknya merusak dan sembarangan memperlakukan isi rumah kita yang kita beli dengan susah payah,dan kita melihat tingkah polah aneh itu 24 jam!!

Now saya gak lagi tertekan di rumah saya sendiri,saya gak ngoyo harus begini dan begitu,karena saya sendiri yang mengerjakan,saya mengupayakan untuk mengkur kekuatan saya dan target kerja,yang penting anak dan suami bisa makan sehat,dan rumah juga gak kotor-kotor amat.

Hati kecil saya sudah mampu menerima jika ada yang kurang ini dan itu di rumah, karena saya sudah menganggap bahwa penjaga rumah dan pengasuh setengah hari yang ada itu hanyalah additional player dirumah saya, real player adalah saya dan Tori.

Jadi kalo ditanya, apakah kita bisa hidup tanpa PRT tetap seperti yang sudah-sudah, saya jawab BISA!,kelak jika jasa penitipan anak sudah ada dimana-mana maka saya yakin kita akan memasuki fase kemandirian seperti orang di luar negri.

Pada dasarnya kita pasti bisa asal kita mau…

Monday, October 5, 2009

Super Dad


Gimana interaksi anda dengan ayah anda sejak anda kecil?apakah semua orang merasa close dengan ayah masing2?
Saya rasa tidak…banyak orang yang saya kenal termasuk saya, tidak merasa dekat dengan ayah saya, hubungan saya dengan ayah saya ya gitu aja,dari dulu sampai sekarang papa bukan teman curhat,bukan seseorang yang selalu saya datangi kalo ada masalah,bukan orang yang saya anggap tepat menjadi shoulder to cry on, berbeda dengan mama saya.
Kalo ditanya kenapa saya gak dekat dengan papa?saya bingung juga,entah kenapa?padahal saya tau papa sayang kami semua,tapi kami berempat tidak ada yang dekat dengan papa.

Setelah dirunut lagi,kalo pengalaman pribadi saya,saya tidak dekat dengan saya karena alasan :
1. Papa sejak dulu menunjukkan sikap dictator,seolah berinteraksi dengan papa adalah hal yang menguras emosi dan rasa takut
2. Papa kurang terlibat dalam membantu kami menyelesaikan dan memecahkan hal-hal remeh,papa jarang mengambil alih kepengurusan diri kami
3. Papa jarang punya waktu bermain bersama kami,mungkin waktu kecil iya tapi setelah kami beranjak besar,papa jarang punya waktu untuk bercanda dengan kami
4. Papa tidak membiasakan untuk mendengar keluh kesah kami
5. Budaya jaman dulu menempatkan seorang ayah sebagai orang yang tidak harus disegani sekaligus ditakuti

Bukan saya tidak menyayangi ayah saya dan saya pun tau papa saya juga pastinya sayang sama kami,tapi saya sayangkan salah dalam mengimplementasikan rasa sayang itu sendiri.


Entah apa pertimbangan orang jaman dulu melakukan tindakan semacam itu sama anak-anaknya.Apa mungkin jaman dulu mentalitas anak-anak emang bisa dikerasin seperti itu sehingga anak-anak takut dan efeknya nurut sama orang tua?Atau karena banyaknya waktu yang seorang ayah habiskan untuk mencari nafkah membuat ayah tidak memiliki energy untuk menggali hubungan yang mantap dengan anak?Atau semua ayah merasa setelah tugas mereka mencari nafkah mereka tak perlu lagi terlibat dalam pengurusan anak?atau seorang merasa menjadi dekat dengna anak hanyalah kewajiban seorang ibu semata?

Tapi apakah cara itu efektif mendidik anak-anak kita?apakah sosok ayah harus menjadi sosok yang ditakuti jika hanya ingin anak dapat bekerjasama dengan baik dengan orang tuanya?memiliki anak-anak yang tidak kita miliki hatinya apakah itu yang anda inginkan?
Jawabnya :TIDAK!

Coba bayangkan,jika anak menjadi takut dengan ayahnya,kemana anak akan mencari tempat perlindungan?dengan terbukanya akses komunikasi dewasa ini kita sebagai harus ekstra kerja keras agar kehadiran kita adalah menjadi VIP di benak dan hati anak-anak kita,bukan sebaliknya. Anak harus dikondisikan nyaman dan damai dalam berkomunikasi dan berhubungan dengan kita sebagai orang tuanya. Ibu dan ayah harus mampu menjadi sahabat bagi anak. Semua dilakukan agar anak tidak mencari tempat lain untuk mencurahkan hati dan berbagi,khawatir berbagi di tempat yang salah..

Kalau kedekatan dengan ibu,biasanya hal itu terjadi secara alamiah,sejak dalam kandungan hubungan ibu dan anak sudah menjadi istimewa, dan melalui ASI hubungan emosional anak dan ibunya akan semakin kuat.Lalu bagaimana dengan ayah,apakah mereka memiliki kesempatan untuk secara otomatis memiliki hubungan emosial ?jawabnya :TIDAK.
Seorang ayah harus berupaya lebih keras untuk memiliki tempat di hati anaknya. Gimana caranya?

Dari apa yang saya amati,ayah harus ambil peranan dalam perkembangan anaknya,buat anak nyaman dengan cara:
1. Bantu ibu dalam mengurus anak,misalnya Ibu bertugas menyusui,gak ada salahnya ayah mengambil alih pekerjaan mengganti popok maupun menyuapi anak.
2. Punya waktu khusus hanya untuk sekedar bercanda dan bermain,jika sudah besar dan sudah bisa diajak jalan berdua,sempatkan mengajak anak jalan-jalan ke tempat yang anak sukai tanpa ibunya.
3. Memiliki waktu untuk makan bersama anak entah pagi maupun malam.
4. Memiliki keseriusan dan minat khusus mengikuti perkembangan anak
5. Membangun kebiasaan menjadi teman bicara yang ‘asik’ bagi anak
6. Mengajak anak memahami dan melihat bagaiamana ayah menghabiskan waktu diluar sehingga anak tau pengorbanan yang dilakukan seorang ayah untuknya
7. Dsb…



Adalah cara yang salah apabila seorang ayah yang berupaya merebut hati anak dengan cara melimpahkan anak dengan hadiah-hadiah yang mungkin sebenarnya tidak diperlukan anak itu sendiri,karena hal itu bukannya mampu menempatkan anda sebagai super dad,malah anda telah merusak mental anak anda sendiri menjadi anak manja dan pemboros.

Memang enggak mudah, bagi seorang ayah yang mungkin gak terbiasa menangani hal-hal kecil terutama dalam pengurusan anak,tiba-tiba harus ekstra jeli mengambil peran bagi anak. Butuh kemauan dan usaha yang keras,serta butuh kepekaan tertentu.Menjadi ayah yang baik memang butuh pengorbanan baik tenaga maupun waktu,tapi sangat worthed kok dengan predikat super dad di benak anak.

Jika bagi anak ayah adalah seorang super dad,anak biasanya sulit menentukan lebih dekat dengan mama or papa,karena bagi anak kedua orang itu adalah mataharinya,belahan jiwanya.

Hayo siapa mau jadi super dad?

Pernikahan My Lil’ Sista



Dua tahun terakhir saya diberi amanah sama ortu saya, adik saya Epit, tinggal di rumah saya, dan menjadi tanggung jawab saya dan Tori, secara financial sih tidak,karena adik saya sudah bekerja dan berpenghasilan sendiri. Setelah lulus kuliah ia memutuskan untuk hijrah ke Jakarta dan mencari kerja, maka ia tinggal bersama saya. Epit adalah adik bungsu saya,kesayangan papa mama saya,maka gak heran dia manja dan gak bisa apa2 selain berprestasi di bidang akademik. Sejak tinggal sama saya,saya gak menerapkan manja manjaan,buat saya semua orang harus mandiri, selayaknya perempuan lain ya harus bisa mandiri,setidaknya siap jika harus melangkah ke jenjang pernikahan. Si lil sista ini saya paksa untuk punya tanggungjawab,kadang gak tanggung-tanggung saya omeli habis-habisan kalo dia mulai malas-malasan. Di hari weekend pun kamar nya selalu saya gedor di pagi hari,saya ajarkan dia terjun ke pasar tradisional,belajar belanja dan mengatur menu rumah. 2 tahun sungguh membuatnya lebih maju, di bulan ramadhan lalu,dialah yang selalu bangun lebih dulu memberi komando ke para pembantu untuk mempersiapkan makanan sahur.

Dan kemarin setelah lebaran,saya sekeluarga mengantarkan si bungsu ini ke jenjang berikutnya,yaitu pernikahan. Saya pernah cerita sebelumnya,kalo adik saya berhubungan serius dengan salah satu sahabat saya,dan sekarang mereka mengikatkan diri dalam tali pernikahan.




Lega,senang sekaligus sedih,kenapa sedih?karena saya tentu akan merasa begitu kehilangan dia sebagai teman curhat saya di rumah,mungkin nanti saya akan merindukan sesi ngobrol ngalor ngidul sepulang kerja dan kadang curhat ini dan itu. Mungkin juga akan merindukan ritual tukar-tukaran baju,tas dan sepatu yang kerap kami lakukan setiap hari.Saya pasti akan merasa sedikit kehilangan nantinya…

Pernikahan my lil sista berlangsung Minggu 27 September 2009 lalu,di masjid Sidratul Muntaha di Jl.Gajah Mada Bandar Lampung,sebuah masjid tempat saya dan epit dulu mengaji di TPA-nya,saya ingat betul, dulu kami berdua setiap sore berjalan kaki ke masjid itu untuk belajar mengaji.Bagi epit yang saat itu masih TK mungkin itulah tempatnya petama kali belajar al Qur’an. Dan kemarin menjadi tempat bersejarah baginya….




Alhamdulillah acara akad nikah dan resepsi berjalan sangat mulus,gak kurang satu apapun meskipun sehari sebelum acara seserahan (Jumat 25 September 2009) terjadi bencana kebakaran di rumah sebelah rumah papa saya padahal saat itu tenda sudah berdiri tegak. Bayangin deh kalo aja Allah gak berbaik hati menghembuskan angin sehingga membawa arah api menjauhi rumah kami,saya yakin api sudah melalap tenda tersebut. Kebakaran besar itu telah meneganggkan kami sesaat,adik dan papa saya sampai jatuh pingsan, kami saat itu sudah pasrah!. Alhamdulillah angin benar2 menjauhkan arah api dari rumah kami,sampai pemadam kebakaran tiba dan memusnahkan api..alhamdulillah…Itulah cerita seru sebelum acara pernikahan adik saya .Dan kembali kami bersyukur,acara selanjutnya berlangsung sangat lancar..
Tinggal nanti harus lebih konsentrasi lagi untuk menyelenggarakan resepsi di Jakarta 24 oktober malam mendatang di Balai Sudirman,doakan semoga kembali lancar ya…